Penerapan Kurikulum 2013 |
TERLEPAS dari pro dan kontra atas Kurikulum 2013, yang memang
dikonstruksi tanpa riset yang kokoh tentang perkembangan manusia Indonesia,
semangat yang di kedepankan yaitu menpersiapkan manusia Indonesia masa depan,
menjadi manusia cerdas, kompetitif, dan
berjati diri Indonesia. Kurikulum 2013 menonjolkan kekuatannya sebagai
integrator, menekankan pada proses, diferensiasi layanan, dan asesmen
berkelanjutan. Sesungguhnya tiga prinsip terakhir sudah ditegaskan sejak
Kurikulum 1975, namun konsistensi implementasi yang tidak terjadi. Kurikulum
2006 yang disebut KTSP, yang dinilai mengandung pemikiran lepas konteks,
dianggap tidak mampu mewujudkan
integritas proses pendidikan. Sebaik apapun kurikulum, yang lebih penting
adalah manusia yang ada dibalik kurikulum ketika kurikulum digelar menjadi
sebuah suasana dan proses pembelajaran.
Sekiranya regulasi dan kebijakan
pendidikan lahir secara konsisten dari landasan normatif, jelasnya UU Sisdiknas, apa yang dirumuskan dalam
Kurikulum 2013 bukanlah hal yang terlalu luar biasa. Pasal dan ayat di dalam
UU Sisdiknas sarat makna filosofis dan
kerangka pikir pendidikan yang harus dijabarkan secara konsisten ke dalam
regulasi dan kebijakan pendidikan sebagai landasan penyelenggaraan pendidikan.
Inkonsistensi implementasi terjadi karena regulasi dan kebijakan yang
lepas konteks.
Arahan Pasal 1 (1) UU Sisdiknas, bahwa
pendidikan sebagai usaha sadar dalam mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya,
mengandung tiga implikasi pedagogis yang harus dilaksanakan, yaitu: (1) memosisikan peserta didik sebagai
"pemikir aktif" yang menekankan pembelajaran sebagai proses
perkembangan dan tidak bertolak dari asumsi defisit; (2) pembelajaran merupakan
proses kolaborasi dan diskusi yang mewujudkan transaksi "intersubjektivitas" yang menumbuhkan kebenaran objektif, rasa
empati dan kesadaran kultural, (3) asesmen tidak berhenti pada ukuran
kuantitatif, melainkan asesmen komprehensif yang menggambarkan progres
perkembangan peserta didik mulai dari asesmen pada tingkat satuan pendidikan sampai
ke tingkat nasional. Ketiga implikasi yang disebutkan tidak terselenggara
dengan baik.
Pengingkaran terhadap hakikat belajar
dan pembelajaran sebagaimana dikehendaki
dari implikasi pedagogis Pasal 1
(1) telah dituding sebagai faktor penyebab tidak terbentuknya karakter, dan
mendorong lahirnya Kurikulum 2013. Mengapa demikian, bisa dilacak dari
regulasi, kebijakan, dan praktek pengendalian mutu guru dan pendidikan selama
ini. Perubahan kurikulum tidak akan serta merta menjamin pembentukan karakter
kalau pesan Pasal 1(1) tidak
dilaksanakan secara taat azas.
Visi futuristik UU Sisdiknas untuk menghantarkan manusia
Indonesia ke dunia kerja global dan menjadi warga dunia terkandung dalam arahan
Pasal 1 (2). Implikasinya, pendidikan nasional
harus bersifat adaptif dan inovatif namun tetap harus berdasar kepada Pancasila
dan UUD 1945 dan berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional.
Kerentanan karakter bangsa dan
nasionalisme merupakan indikator ketidak tersentuhan peserta didik oleh
nilai-nilai budaya nasional. Nilai budaya, sebagai mind set bangsa, tidak tertanamkan dengan baik dalam suasana
belajar dan proses pembelajaran karena mengingkari arahan Pasal 1 (1). Budaya
bukanlah semata-mata sebagai produk tetapi juga sebagai proses. Arahan Pasal 1 (2) mengandung implikasi bahwa
penyelenggaraan pendidikan harus dalam konteks global namun bertindak dalam
konteks lokal. Prinsip sustainability
development terkandung di dalamnya,
dan ini berarti bahwa pendidikan harus peduli terhadap pemeliharaan sumber daya
alam dan warisan budaya sebagai kekuatan karakter dan jati diri bangsa.
Pembangunan karakter bangsa secara
tegas dinyatakan dalam Pasal 3 tentang fungsi pendidikan nasional dan arahan
Pasal 1 (1) yang menegaskan ragam perilaku peserta didik yang harus
dikembangkan melalui pendidikan. Pendidikan karakter bukanlah urusan baru
pendidikan, karena pembentukan karakter adalah esensi dari pendidikan itu
sendiri yang sudah diamanatkan di dalam UU Sisdiknas. Pasal 3 memberi arahan
tiga tataran fungsi pendidikan nasional yang bermuara pada pembentukan karakter
bangsa, yaitu: (1) membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, yang
akan menjamin kepastian keberlanjutan esksitensi bangsa Indonesia di muka bumi,
(2) mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai kekuatan kolektif yang akan membentuk karakter bangsa, dengan
menempatkan nilai kulutral sebagai perekat kekuatan kolektif, (3) mengembangkan
potensi peserta didik untuk menjadi manusia Indonesia sebagaimana arahan Pasal
1 (1).
Keutuhan dan kelumatan ketiga tataran fungsi dalam suasana belajar
dan proses pembelajaran sebagaimana arahan Pasal 1 (1) akan menjadi wahana untuk
mewujudkan proses pendidikan sebagai proses pembentukan karakter bangsa.
Apakah regulasi dan kebijakan pendidikan sudah mengalir secara konsisten dari
jiwa Pasal 3 untuk mewujudkan arahan Pasal 1 (1)?. Bisa dilacak pada regulasi
dan kebijakan selama ini. Penekanan aspek akademik dan pembentukan perilaku
“instan” dalam proses pendidikan yang banyak dilatihkan, seperti dalam kegiatan
“olimpiade” yang masif dan hampir semua mata pelajaran di-olimpiade-kan, jelas-jelas bisa menjauhkan peserta didik
dari proses pembentukan karakter.
Penyisipan nilai-nilai pada mata pelajaran yang dianggap dapat membentuk
karakter, seperti yang pernah terjadi pada KTSP, merupakan indikator dari
regulasi yang lepas konteks.
Sisi lain yang cukup meresahkan
masyarakat adalah tawuran pelajar yang berakibat jatuhnya korban. Perilaku
tawuran merupakan perilaku menyimpang dan patologis dan dianggap sebagai
kegagalan pendidikan, sehingga penyelenggara pendidikan dipandang sebagai pihak
yang layak dikenakan penalti atau
hukuman. Kaitannya dengan kurikulum adalah ketika penyelenggaraan pendidikan
tidak menjadi sebuah proses pembudayaan dan pemberdayaan sebagaimana arahan
Pasal 4 (3). Pendidikan sebagai proses pembudayaan mesti menanamkan budaya
berpikir, budaya kerja, budaya mutu, budaya etika, budaya tanggung jawab,
budaya jujur, budaya toleransi, empati dan demokrasi, sebagai proses untuk
mewujudkan arahan Pasal 3, yaitu
pembentukan karakter bangsa. Perlu dikaji ulang konsistensi regulasi dan
kebijakan dengan arahan Pasal 4(3), dan keterkaitannya dengan implementasi Pasal-pasal lain yang
disebutkan, yang memastikan suasana belajar dan proses pembelajaran sebagaimana
arahan Pasal 1 (1) terwujud sebagai
proses pembudayaan dan pemberdayaan.
Program pendidikan yang dituangkan
dalam kurikulum bukanlah sekedar kumpulan mata pelajaran, melainkan sebuah
pengalaman belajar yang dirancang untuk memfasilitasi perkembangan peserta
didik. Implikasi pedagogis dari arahan Pasal 1(1) mengisyarakat bahwa kurikulum
harus dikembangkan berbasis perkembangan peserta didik. Isi kurikulum yang
diarahkan oleh Pasal 37 bisa
direorganisasi ke dalam tema-tema integratif, namun harus didasarkan
kepada arahan perkembangan anak Indonesia.
Sosok manusia Indonesia Generas
2045 harus dirumuskan berasarkan hasil
riset, dan sampai saat ini kita tidak memiliki hasil riset tentang perkembangan
anak Indonesia yang akan harus menjadi landasan pengembangan pendidikan.
Membentuk karakter tidak dengan cara
melemahkan atau mengurangi sisi akademik karena karakter dan akademik tidak
bersifat dikotomis. Esensi pembudayaan
adalah pembentukan karakter yang harus melekat dalam proses akademik.
Suasana belajar dan proses pembelajaran yang dipandang sebagai biang
keladi tidak terbentuknya karakter, dan
menjadi dasar terjadinya perubahan kurikulum, semata-mata disebabkan karena
arahan Pasal 1 (1), Pasal 3, dan Pasal 4 (2) tidak dikuti dan dilaksanakan
secara utuh dan konsisten.
Layanan bagi peserta didik sebagaimana
arahan Pasal 5 dan Pasal 32 tidak mengandung arahan diselenggarakannya layanan
pendidikan dan kelas-kelas ekslusif yang bisa mencerabut peserta didik dari
habitatnya. Layanan pendidikan seyogyanya berlangsung secara inklusif yang
ditunjang dengan diferensiasi dan diversifikasi program layanan sesuai dengan
kebutuhan khusus peserta didik, sehingga arahan Pasal 1(1) tetap terwujud
secara utuh. Perlu dihindari layanan bagi anak berbakat istimewa yang menyeret
pendidikan menjadi sebuah “hobi” yang memunculkan opportunity cost tinggi,
karena mereka adalah warga negara biasa
yang sama dengan peserta didik lainnya.
Harapan dan
kandungan maksud Kurikulum 2013 memerlukan dukungan manajemen yang kuat. Di tingkat
satuan pendidikan, kekuatan dukungan harus tampak dalam (1) leadership, yang memiliki pemahaman
secara benar, kuat dan mendalam terhadap hakikat pendidikan dan kandungan pesan
Kurikulum 2013, sejalan dengan makna Pasal-pasal dalam payung UU Sisdiknas, (2) pembelajaran, sebagai wujud implementasi
kurikulum, yang konsisten dengan arahan pasal-pasal terkait dalam UU
Sisdiknas, (3) layanan peserta didik
yang berbasis pengembangan potensi dan peminatan yang diwujudkan dalam layanan
bimbingan dan konseling.
Diperlukan
reformulasi paradigma bimbingan dan konseling yang mengedepankan orientasi kolaboratif, dalam
upaya mewujudkan pembelajaran yang menumbuhkan hard skills dan soft skills
secara terpadu, memandirikan peserta
didik dalam menavigasi kehidupan dan pengembangan karir, dan mewujudkan fungsi out reach untuk membangun daya dukung
lingkungan perkembangan peserta didik.
Ada dua institusi yang perlu memperoleh
penguatan dan penegasan fungsi agar mampu memberikan arahan dan masukan kepada
Pemerintah dalam mengambil kebijakan pendidikan, termasuk perubahan kurikulum.
Kedua institusi ini adalah: (1) Balitbangdikbud, sebagai perangkat Kemdikbud
yang mempunyai tupoksi antara lain melakukan kajian dan riset kebijakan
pendidikan. (2) Dewan Pendidikan Nasional, yang dijamin keberadaannya
sebagaimana arahan Pasal 56, sebagai lembaga indipenden yang merupakan
representasi masyarakat yang harus
terbebas dari kepentingan politik, menjamin stabilitas pendidikan, dan
menyalurkan aspirasi masyarakat. Dewan Pendidikan Nasional selayaknya pula
melakukan riset dan kajian pendidikan agar mampu memberikan arah kebijakan
kepada Pemerintah secara tepat, bukan sebagai lembaga legitimasi mapun oposisi.
Tampak jelas, landasan filosofis-yuridis dan kerangka pikir
esensi pendidikan yang digariskan dalam UU Sisdiknas sudah memberikan
rambu-rambu utuh pendidikan nasional dalam bingkai Pancasila, konteks kehidupan
global, dan pembentukan kakrakter bangsa. Pengingkaran terhadap makna pendidikan, yang membuat terjadinya
inkonsistensi implementasi UU Sisdiknas, akan membuat Kurikulum 2013 tidak
membawa perbaikan apa-apa.
Agar Kurikulum 2013 menjadi terapi pendidikan,
langkah yang secara simultan harus diambil adalah: (1) melakukan perubahan mind set secara menyeluruh, tentang
pendidikan bangsa, yang didasarkan atas
pemaknaan utuh atas aspek-aspek filosfis dan kerangka pikir pendidikan
yang terkandung dalam UU Sisdiknas, (2) merumuskan Kerangka Kerja Sistem Pendidikan
Nasional secara komprehensif yang konsisten dengan makna filosofis-yuridis, (3)
menata personel pendidikan dengan mengutamakan profesionalisme
sehingga mampu mewujudkan manajemen pendidikan atas dasar pemahaman utuh atas
filosofi dan makna pendidikan, (4) riset
pendidikan yang berhasil guna untuk mewujudkan pendidikan sebagai proses
pemberdayaan dan pembudayaan manusia Indonesia.
No comments:
Post a Comment