Jun 25, 2015

Kurikulum 2013: Terapi Pendidikan?



Kurikulum 2013, K2013, K13
Penerapan Kurikulum 2013

TERLEPAS dari pro dan kontra atas Kurikulum 2013, yang memang dikonstruksi tanpa riset yang kokoh tentang perkembangan manusia Indonesia, semangat yang di kedepankan yaitu menpersiapkan manusia Indonesia masa depan, menjadi manusia  cerdas, kompetitif, dan berjati diri Indonesia. Kurikulum 2013 menonjolkan kekuatannya sebagai integrator, menekankan pada proses, diferensiasi layanan, dan asesmen berkelanjutan. Sesungguhnya tiga prinsip terakhir sudah ditegaskan sejak Kurikulum 1975, namun konsistensi implementasi yang tidak terjadi. Kurikulum 2006 yang disebut KTSP, yang dinilai mengandung pemikiran lepas konteks, dianggap tidak  mampu mewujudkan integritas proses pendidikan. Sebaik apapun kurikulum, yang lebih penting adalah manusia yang ada dibalik kurikulum ketika kurikulum digelar menjadi sebuah suasana dan proses pembelajaran.
Sekiranya regulasi dan kebijakan pendidikan lahir secara konsisten dari landasan normatif, jelasnya  UU Sisdiknas, apa yang dirumuskan dalam Kurikulum 2013 bukanlah hal yang terlalu luar biasa. Pasal dan ayat di  dalam UU Sisdiknas  sarat makna filosofis dan kerangka pikir  pendidikan yang harus dijabarkan secara konsisten ke dalam regulasi dan kebijakan pendidikan sebagai landasan penyelenggaraan pendidikan.  Inkonsistensi implementasi terjadi karena regulasi dan kebijakan yang lepas konteks.
Arahan Pasal 1 (1) UU Sisdiknas, bahwa pendidikan sebagai usaha sadar dalam mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, mengandung tiga implikasi pedagogis yang harus dilaksanakan, yaitu:  (1) memosisikan peserta didik sebagai "pemikir aktif"  yang menekankan pembelajaran sebagai proses perkembangan dan tidak bertolak dari asumsi defisit; (2) pembelajaran merupakan proses kolaborasi dan diskusi yang mewujudkan transaksi "intersubjektivitas"  yang menumbuhkan kebenaran objektif, rasa empati dan kesadaran kultural, (3) asesmen tidak berhenti pada ukuran kuantitatif, melainkan asesmen komprehensif yang menggambarkan progres perkembangan peserta didik mulai dari asesmen pada tingkat satuan pendidikan sampai ke tingkat nasional. Ketiga implikasi yang disebutkan tidak terselenggara dengan baik.
Pengingkaran terhadap hakikat belajar dan pembelajaran sebagaimana dikehendaki  dari implikasi pedagogis  Pasal 1 (1) telah dituding sebagai faktor penyebab tidak terbentuknya karakter, dan mendorong lahirnya Kurikulum 2013. Mengapa demikian, bisa dilacak dari regulasi, kebijakan, dan praktek pengendalian mutu guru dan pendidikan selama ini. Perubahan kurikulum tidak akan serta merta menjamin pembentukan karakter kalau pesan Pasal 1(1)  tidak dilaksanakan secara taat azas.
Visi futuristik  UU Sisdiknas untuk menghantarkan manusia Indonesia ke dunia kerja global dan menjadi warga dunia terkandung dalam arahan Pasal 1 (2). Implikasinya,  pendidikan nasional harus bersifat adaptif dan inovatif namun tetap harus berdasar kepada Pancasila dan UUD 1945 dan berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional. Kerentanan  karakter bangsa dan nasionalisme merupakan indikator ketidak tersentuhan peserta didik oleh nilai-nilai budaya nasional. Nilai budaya, sebagai mind set bangsa, tidak tertanamkan dengan baik dalam suasana belajar dan proses pembelajaran karena mengingkari arahan Pasal 1 (1). Budaya bukanlah semata-mata sebagai produk tetapi juga sebagai proses.  Arahan Pasal 1 (2) mengandung implikasi bahwa penyelenggaraan pendidikan harus dalam konteks global namun bertindak dalam konteks lokal. Prinsip sustainability development terkandung di dalamnya, dan ini berarti bahwa pendidikan harus peduli terhadap pemeliharaan sumber daya alam dan warisan budaya sebagai kekuatan karakter dan jati diri bangsa.
Pembangunan karakter bangsa secara tegas dinyatakan dalam Pasal 3 tentang fungsi pendidikan nasional dan arahan Pasal 1 (1) yang menegaskan ragam perilaku peserta didik yang harus dikembangkan melalui pendidikan. Pendidikan karakter bukanlah urusan baru pendidikan, karena pembentukan karakter adalah esensi dari pendidikan itu sendiri yang sudah diamanatkan di dalam UU Sisdiknas. Pasal 3 memberi arahan tiga tataran fungsi pendidikan nasional yang bermuara pada pembentukan karakter bangsa, yaitu: (1) membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, yang akan menjamin kepastian keberlanjutan esksitensi bangsa Indonesia di muka bumi, (2) mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai kekuatan kolektif  yang akan membentuk karakter bangsa, dengan menempatkan nilai kulutral sebagai perekat kekuatan kolektif, (3) mengembangkan potensi peserta didik untuk menjadi manusia Indonesia sebagaimana arahan Pasal 1 (1).
Keutuhan dan kelumatan  ketiga tataran fungsi dalam suasana belajar dan proses pembelajaran sebagaimana arahan Pasal 1 (1) akan menjadi  wahana untuk  mewujudkan proses pendidikan sebagai proses pembentukan karakter bangsa. Apakah regulasi dan kebijakan pendidikan sudah mengalir secara konsisten dari jiwa Pasal 3 untuk mewujudkan arahan Pasal 1 (1)?. Bisa dilacak pada regulasi dan kebijakan selama ini. Penekanan aspek akademik dan pembentukan perilaku “instan” dalam proses pendidikan yang banyak dilatihkan, seperti dalam kegiatan “olimpiade” yang masif dan hampir semua mata pelajaran di-olimpiade-kan,  jelas-jelas bisa menjauhkan peserta didik dari proses pembentukan karakter.  Penyisipan nilai-nilai pada mata pelajaran yang dianggap dapat membentuk karakter, seperti yang pernah terjadi pada KTSP, merupakan indikator dari regulasi yang lepas konteks.
Sisi lain yang cukup meresahkan masyarakat adalah tawuran pelajar yang berakibat jatuhnya korban. Perilaku tawuran merupakan perilaku menyimpang dan patologis dan dianggap sebagai kegagalan pendidikan, sehingga penyelenggara pendidikan dipandang sebagai pihak yang  layak dikenakan penalti atau hukuman. Kaitannya dengan kurikulum adalah ketika penyelenggaraan pendidikan tidak menjadi sebuah proses pembudayaan dan pemberdayaan sebagaimana arahan Pasal 4 (3). Pendidikan sebagai proses pembudayaan mesti menanamkan budaya berpikir, budaya kerja, budaya mutu, budaya etika, budaya tanggung jawab, budaya jujur, budaya toleransi, empati dan demokrasi, sebagai proses untuk mewujudkan arahan  Pasal 3, yaitu pembentukan karakter bangsa. Perlu dikaji ulang konsistensi regulasi dan kebijakan dengan arahan Pasal 4(3), dan keterkaitannya  dengan implementasi Pasal-pasal lain yang disebutkan, yang memastikan suasana belajar dan proses pembelajaran sebagaimana arahan Pasal 1 (1)  terwujud sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan.
Program pendidikan yang dituangkan dalam kurikulum bukanlah sekedar kumpulan mata pelajaran, melainkan sebuah pengalaman belajar yang dirancang untuk memfasilitasi perkembangan peserta didik. Implikasi pedagogis dari arahan Pasal 1(1) mengisyarakat bahwa kurikulum harus dikembangkan berbasis perkembangan peserta didik. Isi kurikulum yang diarahkan  oleh Pasal 37  bisa  direorganisasi ke dalam tema-tema integratif, namun harus didasarkan kepada arahan perkembangan anak Indonesia.  Sosok manusia Indonesia  Generas 2045  harus dirumuskan berasarkan hasil riset, dan sampai saat ini kita tidak memiliki hasil riset tentang perkembangan anak Indonesia yang akan harus menjadi landasan pengembangan pendidikan.
Membentuk karakter tidak dengan cara melemahkan atau mengurangi sisi akademik karena karakter dan akademik tidak bersifat dikotomis. Esensi pembudayaan  adalah pembentukan karakter yang harus melekat dalam proses akademik. Suasana belajar dan proses pembelajaran yang dipandang sebagai biang keladi  tidak terbentuknya karakter, dan menjadi dasar terjadinya perubahan kurikulum, semata-mata disebabkan karena arahan Pasal 1 (1), Pasal 3, dan Pasal 4 (2) tidak dikuti dan dilaksanakan secara utuh dan konsisten.
Layanan bagi peserta didik sebagaimana arahan Pasal 5 dan Pasal 32 tidak mengandung arahan diselenggarakannya layanan pendidikan dan kelas-kelas ekslusif yang bisa mencerabut peserta didik dari habitatnya. Layanan pendidikan seyogyanya berlangsung secara inklusif yang ditunjang dengan diferensiasi dan diversifikasi program layanan sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik, sehingga arahan Pasal 1(1) tetap terwujud secara utuh. Perlu dihindari layanan bagi anak berbakat istimewa yang menyeret pendidikan menjadi sebuah “hobi” yang memunculkan opportunity cost  tinggi, karena mereka  adalah warga negara biasa yang sama dengan peserta didik lainnya.
Harapan dan kandungan maksud Kurikulum 2013 memerlukan dukungan manajemen yang kuat. Di tingkat satuan pendidikan, kekuatan dukungan harus tampak dalam (1) leadership, yang memiliki pemahaman secara benar, kuat dan mendalam terhadap hakikat pendidikan dan kandungan pesan Kurikulum 2013, sejalan dengan makna Pasal-pasal dalam payung UU Sisdiknas,  (2) pembelajaran, sebagai wujud implementasi kurikulum, yang konsisten dengan arahan pasal-pasal terkait dalam UU Sisdiknas,  (3) layanan peserta didik yang berbasis pengembangan potensi dan peminatan yang diwujudkan dalam layanan bimbingan dan konseling.
Diperlukan reformulasi paradigma bimbingan dan konseling yang  mengedepankan orientasi kolaboratif, dalam upaya mewujudkan pembelajaran yang menumbuhkan hard skills dan soft skills secara terpadu,  memandirikan peserta didik dalam menavigasi kehidupan dan pengembangan karir, dan mewujudkan fungsi out reach untuk membangun daya dukung lingkungan perkembangan peserta didik.
Ada dua institusi yang perlu memperoleh penguatan dan penegasan fungsi agar mampu memberikan arahan dan masukan kepada Pemerintah dalam mengambil kebijakan pendidikan, termasuk perubahan kurikulum. Kedua institusi ini adalah: (1) Balitbangdikbud, sebagai perangkat Kemdikbud yang mempunyai tupoksi antara lain melakukan kajian dan riset kebijakan pendidikan. (2) Dewan Pendidikan Nasional, yang dijamin keberadaannya sebagaimana arahan Pasal 56, sebagai lembaga indipenden yang merupakan representasi masyarakat  yang harus terbebas dari kepentingan politik, menjamin stabilitas pendidikan, dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Dewan Pendidikan Nasional selayaknya pula melakukan riset dan kajian pendidikan agar mampu memberikan arah kebijakan kepada Pemerintah secara tepat, bukan sebagai lembaga legitimasi mapun oposisi.
Tampak jelas, landasan filosofis-yuridis dan kerangka pikir esensi pendidikan yang digariskan dalam UU Sisdiknas sudah memberikan rambu-rambu utuh pendidikan nasional dalam bingkai Pancasila, konteks kehidupan global, dan pembentukan kakrakter bangsa. Pengingkaran terhadap  makna pendidikan, yang membuat terjadinya inkonsistensi implementasi UU Sisdiknas, akan membuat Kurikulum 2013 tidak membawa perbaikan apa-apa.  
Agar Kurikulum 2013 menjadi terapi pendidikan, langkah yang secara simultan harus diambil adalah: (1) melakukan perubahan mind set secara menyeluruh, tentang pendidikan bangsa, yang didasarkan atas  pemaknaan utuh atas aspek-aspek filosfis dan kerangka pikir pendidikan yang terkandung dalam UU Sisdiknas, (2) merumuskan Kerangka Kerja Sistem Pendidikan Nasional secara komprehensif yang konsisten dengan makna filosofis-yuridis, (3) menata personel pendidikan dengan mengutamakan profesionalisme sehingga mampu mewujudkan manajemen pendidikan atas dasar pemahaman utuh atas filosofi dan makna pendidikan, (4)  riset pendidikan yang berhasil guna untuk mewujudkan pendidikan sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan manusia Indonesia.

No comments:

Post a Comment