WACANA penambahan kewenangan TNI dalam konteks penanggulangan terorisme kembali mewarnai proses pembahasan RUU Antiteror. Keberhasilan Satgas Gabungan TNI-Polri dalam Operasi Tinombala yang sukses menembak mati Santoso, seolah melahirkan daya paksa yang mendorong sebagian kalangan di DPR untuk mengakomodasi pasal penambahan kewenangan TNI di dalam RUU Antiteror yang pada tahun ini masuk ke dalam agenda Prolegnas. Hal ini sangat menarik untuk dikaji. Sebab, penambahan kewenangan TNI dalam konteks pemberantasan terorisme, sebenarnya, bukan perkara boleh atau tidak boleh dan juga layak atau tidak layak. Penambahan kewenangan TNI dalam pemberantasan terorisme adalah perkara keputusan politik. Artinya, apakah Pemerintah mau atau tidak menambah kewenangan TNI dalam memberantas terorisme di Indonesia.
Keputusan politik
Keputusan politik pemerintah terkait pemberantasan terorisme tecermin dalalam beberapa ketentuan perundang-undangan. Setidaknya, ada beberapa garis besar yang harus dipahami terkait dengan hal ini. Pertama, istilah “terorisme” di dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dinyatakan sebagai sebuah tindak pidana luar biasa (extraordinary crime). Hal tersebut berarti bahwa penanganan aksi terorisme harus dilakukan dalam kerangka hukum (projustitia), bukan melalui pendekatan militer. Sekalipun beberapa pendapat menyebutkan bahwa gerakan terorisme di Indonesia memiliki ciri seperti militer, terutama dalam hal penggunaan munisinya, amanat Undang-undang yang menempatkan penanggulangan aksi terorisme dalam sistem peradilan pidana harus dihormati.
Kedua, posisi TNI dalam konteks penanggulangan terorisme adalah sebagai pendukung (back up) Polri. Itu pun hanya dapat dilakukan atas permintaan Polri dan persetujuan Presiden. Kenyataan seperti ini tidak berarti bahwa Polri memiliki kemampuan teknis yang lebih baik dibandingkan TNI. Justru, dalam beberapa hal tidak bisa dibantah, kekuatan dan kemampuan TNI jauh lebih baik. Kemampuan pasukan antiteror TNI yang ada di setiap matra, kualitasnya tak perlu diragukan. Hal ini mungkin cukup dilematis karena kemampuan dan kekuatan yang dimiliki TNI, seolah dikesampingkan. Namun, apa boleh buat, kondisi ini adalah keputusan politik yang harus dihormati.
RUU Antiterorisme
Sejak diundangkan, UU No. 15/2003 telah digunakan lebih dari 12 tahun sebagai kerangka normatif penanggulangan terorisme di Indonesia. Selama itu pula kinerja pemerintah dalam penanggulangan terorisme menyisakan banyak masalah. Ada banyak indikator yang dapat dirujuk untuk menunjukkan lemahnya kinerja pemerintah dalam menanggulangi aksi terorisme. Selain tingginya angka Global Terrorism Index yang mencapai 4,76 pada 2015 (urutan ke-33 dari 124 negara yang memiliki ancaman teroris paling besar), kompetensi Polri sebagai aparat penindak aksi terorisme di Indonesia merupakan faktor esensial yang patut diperhatikan.
Pemerintah sampai pada kesimpulan bahwa lemahnya kinerja penanggulangan terorisme di Indonesia, ditenggarai karena UU No.15/2003 yang digunakan sebagai payung hukum pemberantasan terorisme memiliki banyak kekurangan. Atas dasar itu, revisi UU No.15/2003 dalam Prolegnas 2016 merupakan upaya memperbaiki kinerja penanggulangan terorisme secara keseluruhan. Dalam draf RUU Antiteror yang telah diajukan, pemerintah tidak mengajukan pasal penambahan wewenang TNI (dan BIN) dalam pelibatannya sebagai aparat yang menangani terorisme. Hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa pemerintah, setidaknya sampai saat ini, belum memiliki kemauan politik untuk menambah kewenangan TNI dalam pemberantasan terorisme.
Hal lain yang justru perlu mendapat perhatian terkait RUU Antiteror adalah adanya perubahan/penambahan pasal yang berpotensi melahirkan aksi teror negara kepada rakyat. Pertama, soal perluasan definsi terorisme dan kekerasan yang batasannya mengambang. Dalam RUU Antiteror, ancaman dan perbuatan yang merugikan negara dikatakan sebagai bentuk terorisme dan kekerasan. Definisi tersebut batasannya sangat tidak jelas. Di tataran praktis, hal ini berpotensi menjadi alat kekuasaan yang dapat digunakan pemerintah untuk membungkam rakyat yang kritis terhadap pemerintahan.
Kedua, perluasan kewenangan aparat kepolisian yang sangat berlebihan. Draf RUU Antiteror memuat pasal terkait kewenangan polisi untuk melakukan upaya paksa kepada orang yang baru diduga terlibat dalam jaringan terorisme. Indikator keterlibatan seseorang dalam jaringan terorisme pun “hanya” diidentifikasi dengan ukuran jika seseorang melakukan pertemuan dan atau berkumpul membahas aksi teror dan aksi radikalisme. Selain itu, dengan minimal berbekal dua alat bukti, polisi bisa menahan terduga aksi teror. Jika sebelumnya alat bukti harus berupa aksi atau ancaman, maka dalam draf RUU Antiteror, bukti komunikasi via surat elektronik dan alat elektronik lainnya, bisa dijadikan sebagai alat bukti. Hasil analisis terhadap transaksi keuangan pun bisa menjadi alat bukti yang digunakan untuk menjerat terduga pelaku terorisme. Hal ini jelas-jelas ketentuan yang sangat mengerikan bagi siapa pun yang hidup di alam demokrasi.
Upaya negara untuk merevisi UU No.15/2003 perlu didukung agar instrumen yuridis terkait pemberantasan terorisme dapat berkontribusi terhadap pemberantasan teroris secara efektif. Patut juga untuk diingatkan bahwa dalam konteks ini negara mesti memperhatikan hak-hak kemanusian dan supremasi sipil sebagai nilai inti dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Dalam memberantas terorisme, negara jangan sampai terjebak membuat aturan yang justru mendukung lahirnya aksi teror yang dilakukan atas nama negara. Intinya, negara tidak boleh kalah apalagi hilang harapan untuk memberantas aksi terorisme di Indonesia dalam koridor yang sesuai dengan semangat demokrasi dan nilai-nilai kemanisaan.
No comments:
Post a Comment