UU NO. 20 TAHUN 2003 TENTANG SISDIKNAS |
Niat untuk mengubah UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas
perlu dilakukan secara ekstra hati-hati. Adakah yang salah dengan Undang-undang
itu, atau implementasinya yang tidak taat azas. Pasal ayat dalam UU
Sisdiknas sungguh sarat dengan makna filosofis dan kerangka pikir
pendidikan yang harus dijabarkan secara konsisten ke dalam regulasi dan
kebijakan pendidikan sebagai landasan penyelenggaraan pendidikan di lapangan.
Terjadi inkonsistensi dalam implementasi UU Sisdiknas yang
disebabkan karena regulasi dan kebijakan yang dilahirkan tidak didasarkan
kepada konteks filsofofi dan kaidah dasar pendidikan yang terkandung di dalam
UU itu. Inkonsistensi bisa dilihat dari beberapa fenomena berikut.
1.
Arahan Pasal 1 (1) yang menegaskan pendidikan sebagai usaha sadar dalam
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya..., mengandung tiga implikasi pedagogis
yang memerlukan regulasi, kebijakan, dan pengendalian di dalam implementasinya.
Ketiga implikasi dimaksud adalah (1) memposisikan peserta didik sebagai
"pemikir aktif" sehingga proses pembelajaran harus merupakan
sebuah proses perkembangan dan tidak bertolak dari asumsi defisit; (2)
pembelajaran merupakan sebuah kolaborasi dan diskusi yang mewujudkan transaksi
"intersubjektivitas" yang menumbuhkan kebenaran objektif yang berbeda
dari kebenaran subjektif, yang akan
menumbuhkan rasa empati dan kesadaran kultural, (3) asesmen tidak berhenti pada
ukuran kuantitatif, seperti ujian nasional, melainkan harus merupakan asesmen
komprehensif yang mengalir secara konsisten yang menggambarkan progres
perkembangan peserta didik mulai dari asesmen pada tingkat satuan pendidikan,
tingkat kabupaten/kota, provinsi, sampai ke tingkat nasional. Persoalan yang
muncul dalam ujian nasional yang kerap mendorong ketidak jujuran dalam proses,
karena sistem asesmen komprehensif yang meggambarkan kontinuum perkembangan peserta didik tidak dibangun secara utuh. Integrasi UN ke dalam SMPTN masih diragukan
keabsahannya, apalagi seara teoretik kedua jenis ujian itu berbeda fungsi dan
tujuannya. Ketidak konsistenan tampak dalam suasana belajar dan proses
pembelajaran di sekolah yang tidak merefleksikan implikasi pedagogis dari pasal
1 (1) UU No. 20/2003, dan ini yang dituding sebagai faktor penyebab tidak
terbentuknya karakter. Mengapa demikian, bisa dilacak kepada regulasi,
kebijakan, dan pengendalian lapangan
dalam pembinaan mutu pendidikan dan guru. Pasal 1 (1) pun telah
memberikan arahan bagi pembelajaran yang
membentuk karakter. Perubahan kurikulum tidak akan serta merta menjamin
pembentukan karakter kalau pesan Pasal 1(1) ini tidak dilaksanakan secara taat
azas.
2.
Keterbukaan sistem pendidikan nasional terhadap kemajuan
zaman, jelasnya era global, sudah
diarahkan oleh Pasal 1 (2). Implikasinya ialah
bahwa pendidikan nasional harus bersifat adaptif dan inovatif untuk
menyiapkan generasi manusia Indonesia masa depan. Namun demikian arahan Pasal 1 (2) menegaskan bahwa
pendidikan nasional tetap harus berdasar kepada Pancasila dan UUD 1945 dan
berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional. Kerentanan
karakter bangsa dan nasionalisme merupakan indikator ketidak tersentuhan
peserta didik oleh nilai-nilai budaya nasional. Nilai budaya sebagai mind set bangsa tidak tertanamkan dengan
baik dalam pendidikan yang diwujudkan dalam suasana belajar dan proses
pembelajaran sebagaimana arahan Pasal 1 (1). Budaya bukanlah semata-mata
sebagai produk tetapi juga sebagai proses.
Arahan Pasal 1 (2) mengandung implikasi bahwa penyelenggaraan pendidikan
dalam konteks global namun bertindak dalam konteks lokal. Prinsip sustainability development terkandung di dalamnya, dan ini berarti bahwa
pendidikan harus peduli terhadap pemeliharaan warisan budaya sebagai kekuatan karakter
dan jati diri bangsa. Pemisahan muatan lokal dari bidang studi seperti terjadi
dalam struktur KTSP dapat menjadi cikal bakal terpilahnya nilai-nilai budaya
bangsa dari suasana belajar dan proses pembelajaran sebagaimana arahan Pasal 1
(1). Apakah kurikulum baru, yang
dibangun tanpa hasil riset yang kokoh tentang perkembangan anak Indonesia, akan
bisa menjadi terapi untuk menyembuhkan ketimpangan ini? Persoalannya kembali kepada ketaat azasan
implementasi Pasal 1(1) yang dilandasi makna filosofis dan kerangka pikir
pendidikan secara utuh.
3.
Pembangunan karakter bangsa sudah secara tegas dinyatakan
dalam Pasal 3 tentang fungsi pendidikan nasional dan arahan Pasal 1 (1) yang
menegaskan ragam perilaku peserta didik yang harus dikembangkan melalui pendidikan.
Ketika pendidikan karakter dicanangkan, tampak seolah-olah menjadi urusan baru
dalam pendidikan. Padahal pembentukan karakter adalah esensi dari pendidikan
itu sendiri yang sudah diamanatkan di dalam UU. Arahan Pasal 1 (1) sudah
mengandung arahan pendidikan karakter. Arahan Pasal 3 mengandung tiga tataran fungsi pendidikan nasional yang
bermuara pada pembentukan karakter bangsa, yaitu: (1) membentuk watak dan
peradaban bangsa yang bermartabat, dan ini akan menjamin kepastian
keberlanjutan esksitensi bangsa Indonesia di muka bumi ini, (2) mencerdaskan
kehidupan bangsa, sebagai kekuatan kolektif,
yang akan membentuk karakter bansga apabila nilai kulutral menjadi
perekat dari kekuatan kolektif dimaksud, (3) mengembangkan potensi peserta
didik untuk menjadi pribadi-pribadi manusia Indonesia sebagaimana arahan Pasal
1 (1). Keutuhan dan kelumatan ketiga
tataran fungsi dalam suasana belajar dan proses pembelajaran sebagaimana arahan
Pasal 1 (1) akan menjadi wahana
untuk mewujudkan proses pendidikan
sebagai proses pembentukan karakter bangsa. Apakah regulasi dan kebijakan
pendidikan sudah mengalir secara konsisten dari jiwa Pasal 3 untuk mewujudkan
arahan Pasal 1 (1)?. Bisa dilacak pada regulasi dan kebijakan selama ini.
Penekanan aspek akademik dan pembentukan perilaku “instan” dalam proses
pendidikan yang menjauhkan peserta didik dari pembentukan karakter disebabkan
karena regulasi dan kebijakan serta penyelenggaraaan pendididkan tidak mengalir
secara konsisten dari arahan Pasal 3 yang sarat dengan muatan pembentukan
karakter bangsa. Penyisipan nilai-nilai yang dianggap dapat membentuk karakter,
yang pernah terjadi pada KTSP merupakan indikator dari regulasi yang lepas
konteks. Keterbukaan pendidikan terhadap perubahan zaman sebagaimana arahan
Pasal 3, mengandung implikasi bahwa perubahan kurikulum harus didasarkan kepada
hasil riset tentang kecakapan dan perkembangan manusia Indonesia masa depan,
dan sampai saat ini kita tidak memiliki hasil riset seperti itu.
4.
Fenomena yang sangat meresahkan masyarakat adalah tawuran
pelajar yang berakibat jatuhnya korban. Perilaku tawuran merupakan perilaku
menyimpang dan patologis dan dianggap sebagai kegagalan pendidikan, sehingga
penyelenggara pendidikan layak dikenakan penalti atau hukuman. Inkonsistensi
apa yang terjadi dalam pendidikan
terkait dengan tawuran, ialah penyelenggaraan pendidikan yang tidak menjadi
sebuah proses pembudayaan dan pemberdayaan sebagaimana arahan Pasal 4 (3).
Bagaimana suasana belajar dan proses pembelajaran, sebagaimana arahan Pasal
1(1), diwujudkan sebagai sebuah proses pembudayaan dan pemberdayaan sebagaimana
arahan pasal 4 (3). Perlu dikaji ulang
regulasi dan kebijakan serta pengendalian yang secara konsisten mengalir
dari arahan Pasal 4(3) yang terkait dengan implementasi Pasal-pasal lain yang
disebutkan yang memastikan suasana belajar dan proses pembelajaran, sebagaimana
arahan Pasal 1 (1), terwujud sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan.
Pendidikan sebagai proses pembudayaan mesti menanamkan budaya berpikir, budaya
kerja, budaya mutu, budaya etika, budaya tanggung jawab, budaya jujur sebagai
wahana untuk mewujudkan arahan Pasal 3, pembentukan karakter bangsa.
5.
Program pendidikan yang dituangkan dalam kurikulum
bukanlah sekedar kumpulan mata pelajaran, melainkan sebuah pengalaman belajar
yang dirancang untuk memfasilitasi perkembangan peserta didik. Implikasi
pedagogis dari arahan Pasal 1(1) mengisyarakat bahwa kurikulum harus
dikembangkan berbasis perkembangan peserta didik. Isi kurikulum yang
diarahkan oleh Pasal 37 bisa saja direorganisasi ke dalam tema-tema
integratif, namun harus didasarkan kepada arahan perkembangan manusia Indonesia
seperti apa yang ingin disiapkan melalui kurikulum itu. Jika kita ingin menyiapkan Generasi Emas
2045, seperti apa sosok manusia Indonesia 2045 itu harus dirumuskan berasarkan
hasil riset dan kajian mendalam dan menjadi dasar bagi pengembangan kurikulum.
Membentuk karakter tidak dengan cara melemahkan atau mengurangi sisi akademik
karena karakter dan akademik tidak bersifat dikotomis. Esensi pembudayaan adalah pembentukan karakter yang harus
melekat dalam proses akademik. Suasana belajar dan proses pembelajaran yang
dipandang tidak membentuk karakter, dan
menjadi dasar terjadinya perubahan kurikulum, hal itu disebabkan karena arahan
Pasal 1 (1) tidak dikuti dan dilaksanakan secara utuh dan konsisten.
6.
Layanan bagi peserta didik sebagaimana arahan Pasal 5 dan
Pasal 32 tidak mengandung arahan dibentuknya layanan pendidikan dan kelas-kelas
ekslusif yang bisa mencerabut peserta didik dari akar habitat perkembangannya.
Layanan pendidikan seyogyanya berlangsung secara inklusif yang ditunjang dengan
diferensiasi dan diversifikasi program layanan sesuai dengan kebutuhan khusus
peserta didik, sehingga arahan Pasal 1(1) tetap terwujud secara utuh. Perlu
dihindari layanan bagi anak berbakat istimewa menjadi sebuah “hobi” yang
memunculkan “opportunity cost” yang sangat mahal, karena mereka pada dasarnya
adalah warga negara biasa yang sama dengan peserta didik lainnya.
7.
Ada dua institusi yang perlu memperoleh penguatan dan
penegasan fungsi agar mampu memberikan arahan dan masukan kepada Pemerintah
dalam mengambil kebijakan pendidikan, termasuk perubahan kurikulum. Kedua
institusi ini adalah: (1) Balitbangdikbud, sebagai perangkat Kementrian yang
mempunyai tupoksi antara lain melakukan kajian mendalam dan riset kebijakan
pendidikan. Penelitian tentang perkembangan anak Indonesia, yang menjadi landasan
bagi pengembangan sebuah kurikulum, merupakan salah satu tugas Balitbangdikbud.
(2) Dewan Pendidikan Nasional, yang dijamin keberadaannya sebagaimana arahan
Pasal 56. Dewan Pendidikan Nasional
adalah lembaga indipenden yang merupakan representasi masyarakat, dan
bukan pejabat negara, yang harus terbebas dari kepentingan politik, menjamin
stabilitas pendidikan, dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Dewan Pendidikan
selayaknya pula melakukan riset dan kajian pendidikan agar mampu memberikan
arah kebijakan kepada Pemerintah secara tepat.
8.
Jelasnya, landasan
filosofis-yuridis tentang pendidikan Indonesia yang digariskan dalam UU No.
20/2033 sudah memberikan rambu-rambu penyelenggaraan pendidikan nasional dalam
bingkai Pancasila, konteks kehidupan global, dan pembentukan kakrakter bangsa.
Penegasan-penegasan dimaksud tampak jelas pada pasal-pasal antara lain: Pasal 1 (1), Pasal (3), Pasal 4 (1-3), Pasal
37, Pasal 56. Jelasnya landasan
pendidikan bangsa ini sudah baik dan utuh, namun implementasinya yang masih
jauh dari memadai. Langkah yang diperlukan saat ini adalah melakukan perubahan mind set secara menyeluruh tentang
pendidikan bangsa yang didasarkan pada pemaknaan utuh atas aspek-aspek filosfis
dan kerangka pikir pendidikan yang terkandung dalam UU No. 20/2003 dan
merumuskannnya ke dalam Kerangka Kerja Sistem Pendidikan Nasional secara
komprehensif yang menggambarkan konsistensi antara pemaknaan landasan
filosofis-yuridis dengan kebijakan, regulasi, dan implementasi yang didukung
oleh sistem manajemen pendidikan yang profesional dan riset yang berhasil guna dan dengan
mewujdukan pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia Indonesia.
No comments:
Post a Comment