Jun 21, 2015

Permasalahan UU Sisdiknas : Inkonsistensi Implementasi?

UU NO.20/2003, UU SISDIKNAS, UU NO 20 TAHUN 2003
UU NO. 20 TAHUN 2003 TENTANG SISDIKNAS
Niat untuk mengubah UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas perlu dilakukan secara ekstra hati-hati. Adakah yang salah dengan Undang-undang itu, atau implementasinya yang tidak taat azas. Pasal ayat  dalam UU Sisdiknas sungguh sarat dengan makna filosofis dan kerangka pikir  pendidikan yang harus dijabarkan secara konsisten ke dalam regulasi dan kebijakan pendidikan sebagai landasan penyelenggaraan pendidikan di lapangan.  Terjadi  inkonsistensi dalam implementasi UU Sisdiknas yang disebabkan karena regulasi dan kebijakan yang dilahirkan tidak didasarkan kepada konteks filsofofi dan kaidah dasar pendidikan yang terkandung di dalam UU itu. Inkonsistensi bisa dilihat dari beberapa fenomena berikut.
1.   Arahan Pasal 1 (1) yang menegaskan  pendidikan sebagai usaha sadar dalam mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya..., mengandung tiga implikasi pedagogis yang memerlukan regulasi, kebijakan, dan pengendalian di dalam implementasinya. Ketiga implikasi dimaksud adalah (1) memposisikan peserta didik sebagai "pemikir aktif"  sehingga proses pembelajaran harus merupakan sebuah proses perkembangan dan tidak bertolak dari asumsi defisit; (2) pembelajaran merupakan sebuah kolaborasi dan diskusi yang mewujudkan transaksi "intersubjektivitas" yang menumbuhkan kebenaran objektif yang berbeda dari kebenaran subjektif,  yang akan menumbuhkan rasa empati dan kesadaran kultural, (3) asesmen tidak berhenti pada ukuran kuantitatif, seperti ujian nasional, melainkan harus merupakan asesmen komprehensif yang mengalir secara konsisten yang menggambarkan progres perkembangan peserta didik mulai dari asesmen pada tingkat satuan pendidikan, tingkat kabupaten/kota, provinsi, sampai ke tingkat nasional. Persoalan yang muncul dalam ujian nasional yang kerap mendorong ketidak jujuran dalam proses, karena sistem asesmen komprehensif yang meggambarkan kontinuum  perkembangan peserta didik  tidak dibangun secara utuh.  Integrasi UN ke dalam SMPTN masih diragukan keabsahannya, apalagi seara teoretik kedua jenis ujian itu berbeda fungsi dan tujuannya. Ketidak konsistenan tampak dalam suasana belajar dan proses pembelajaran di sekolah yang tidak merefleksikan implikasi pedagogis dari pasal 1 (1) UU No. 20/2003, dan ini yang dituding sebagai faktor penyebab tidak terbentuknya karakter. Mengapa demikian, bisa dilacak kepada regulasi, kebijakan, dan pengendalian lapangan  dalam pembinaan mutu pendidikan dan guru. Pasal 1 (1) pun telah memberikan arahan bagi pembelajaran yang  membentuk karakter. Perubahan kurikulum tidak akan serta merta menjamin pembentukan karakter kalau pesan Pasal 1(1) ini tidak dilaksanakan secara taat azas.
2.   Keterbukaan sistem pendidikan nasional terhadap kemajuan zaman, jelasnya  era global, sudah diarahkan oleh Pasal 1 (2). Implikasinya ialah  bahwa pendidikan nasional harus bersifat adaptif dan inovatif untuk menyiapkan generasi manusia Indonesia masa depan. Namun  demikian arahan Pasal 1 (2) menegaskan bahwa pendidikan nasional tetap harus berdasar kepada Pancasila dan UUD 1945 dan berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional.  Kerentanan  karakter bangsa dan nasionalisme merupakan indikator ketidak tersentuhan peserta didik oleh nilai-nilai budaya nasional. Nilai budaya sebagai mind set bangsa tidak tertanamkan dengan baik dalam pendidikan yang diwujudkan dalam suasana belajar dan proses pembelajaran sebagaimana arahan Pasal 1 (1). Budaya bukanlah semata-mata sebagai produk tetapi juga sebagai proses.  Arahan Pasal 1 (2) mengandung implikasi bahwa penyelenggaraan pendidikan dalam konteks global namun bertindak dalam konteks lokal. Prinsip sustainability development terkandung di dalamnya, dan ini berarti bahwa pendidikan harus peduli terhadap pemeliharaan warisan budaya sebagai kekuatan karakter dan jati diri bangsa. Pemisahan muatan lokal dari bidang studi seperti terjadi dalam struktur KTSP dapat menjadi cikal bakal terpilahnya nilai-nilai budaya bangsa dari suasana belajar dan proses pembelajaran sebagaimana arahan Pasal 1 (1). Apakah kurikulum  baru, yang dibangun tanpa hasil riset yang kokoh tentang perkembangan anak Indonesia, akan bisa menjadi terapi untuk menyembuhkan ketimpangan ini?  Persoalannya kembali kepada ketaat azasan implementasi Pasal 1(1) yang dilandasi makna filosofis dan kerangka pikir pendidikan secara utuh.
3.   Pembangunan karakter bangsa sudah secara tegas dinyatakan dalam Pasal 3 tentang fungsi pendidikan nasional dan arahan Pasal 1 (1) yang menegaskan ragam perilaku peserta didik yang harus dikembangkan melalui pendidikan. Ketika pendidikan karakter dicanangkan, tampak seolah-olah menjadi urusan baru dalam pendidikan. Padahal pembentukan karakter adalah esensi dari pendidikan itu sendiri yang sudah diamanatkan di dalam UU. Arahan Pasal 1 (1) sudah mengandung arahan pendidikan karakter. Arahan Pasal 3 mengandung  tiga tataran fungsi pendidikan nasional yang bermuara pada pembentukan karakter bangsa, yaitu: (1) membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, dan ini akan menjamin kepastian keberlanjutan esksitensi bangsa Indonesia di muka bumi ini, (2) mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai kekuatan kolektif,  yang akan membentuk karakter bansga apabila nilai kulutral menjadi perekat dari kekuatan kolektif dimaksud, (3) mengembangkan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi-pribadi manusia Indonesia sebagaimana arahan Pasal 1 (1). Keutuhan dan kelumatan  ketiga tataran fungsi dalam suasana belajar dan proses pembelajaran sebagaimana arahan Pasal 1 (1) akan menjadi  wahana untuk  mewujudkan proses pendidikan sebagai proses pembentukan karakter bangsa. Apakah regulasi dan kebijakan pendidikan sudah mengalir secara konsisten dari jiwa Pasal 3 untuk mewujudkan arahan Pasal 1 (1)?. Bisa dilacak pada regulasi dan kebijakan selama ini. Penekanan aspek akademik dan pembentukan perilaku “instan” dalam proses pendidikan yang menjauhkan peserta didik dari pembentukan karakter disebabkan karena regulasi dan kebijakan serta penyelenggaraaan pendididkan tidak mengalir secara konsisten dari arahan Pasal 3 yang sarat dengan muatan pembentukan karakter bangsa. Penyisipan nilai-nilai yang dianggap dapat membentuk karakter, yang pernah terjadi pada KTSP merupakan indikator dari regulasi yang lepas konteks. Keterbukaan pendidikan terhadap perubahan zaman sebagaimana arahan Pasal 3, mengandung implikasi bahwa perubahan kurikulum harus didasarkan kepada hasil riset tentang kecakapan dan perkembangan manusia Indonesia masa depan, dan sampai saat ini kita tidak memiliki hasil riset seperti itu.
4.   Fenomena yang sangat meresahkan masyarakat adalah tawuran pelajar yang berakibat jatuhnya korban. Perilaku tawuran merupakan perilaku menyimpang dan patologis dan dianggap sebagai kegagalan pendidikan, sehingga penyelenggara pendidikan layak dikenakan penalti atau hukuman. Inkonsistensi apa yang  terjadi dalam pendidikan terkait dengan tawuran, ialah penyelenggaraan pendidikan yang tidak menjadi sebuah proses pembudayaan dan pemberdayaan sebagaimana arahan Pasal 4 (3). Bagaimana suasana belajar dan proses pembelajaran, sebagaimana arahan Pasal 1(1), diwujudkan sebagai sebuah proses pembudayaan dan pemberdayaan sebagaimana arahan pasal 4 (3). Perlu dikaji ulang  regulasi dan kebijakan serta pengendalian yang secara konsisten mengalir dari arahan Pasal 4(3) yang terkait dengan implementasi Pasal-pasal lain yang disebutkan yang memastikan suasana belajar dan proses pembelajaran, sebagaimana arahan Pasal 1 (1), terwujud sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan. Pendidikan sebagai proses pembudayaan mesti menanamkan budaya berpikir, budaya kerja, budaya mutu, budaya etika, budaya tanggung jawab, budaya jujur sebagai wahana untuk mewujudkan arahan Pasal 3, pembentukan karakter bangsa.
5.   Program pendidikan yang dituangkan dalam kurikulum bukanlah sekedar kumpulan mata pelajaran, melainkan sebuah pengalaman belajar yang dirancang untuk memfasilitasi perkembangan peserta didik. Implikasi pedagogis dari arahan Pasal 1(1) mengisyarakat bahwa kurikulum harus dikembangkan berbasis perkembangan peserta didik. Isi kurikulum yang diarahkan  oleh Pasal 37  bisa saja direorganisasi ke dalam tema-tema integratif, namun harus didasarkan kepada arahan perkembangan manusia Indonesia seperti apa yang ingin disiapkan melalui kurikulum itu.  Jika kita ingin menyiapkan Generasi Emas 2045, seperti apa sosok manusia Indonesia 2045 itu harus dirumuskan berasarkan hasil riset dan kajian mendalam dan menjadi dasar bagi pengembangan kurikulum. Membentuk karakter tidak dengan cara melemahkan atau mengurangi sisi akademik karena karakter dan akademik tidak bersifat dikotomis. Esensi pembudayaan  adalah pembentukan karakter yang harus melekat dalam proses akademik. Suasana belajar dan proses pembelajaran yang dipandang  tidak membentuk karakter, dan menjadi dasar terjadinya perubahan kurikulum, hal itu disebabkan karena arahan Pasal 1 (1) tidak dikuti dan dilaksanakan secara utuh dan konsisten.
6.   Layanan bagi peserta didik sebagaimana arahan Pasal 5 dan Pasal 32 tidak mengandung arahan dibentuknya layanan pendidikan dan kelas-kelas ekslusif yang bisa mencerabut peserta didik dari akar habitat perkembangannya. Layanan pendidikan seyogyanya berlangsung secara inklusif yang ditunjang dengan diferensiasi dan diversifikasi program layanan sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik, sehingga arahan Pasal 1(1) tetap terwujud secara utuh. Perlu dihindari layanan bagi anak berbakat istimewa menjadi sebuah “hobi” yang memunculkan “opportunity cost” yang sangat mahal, karena mereka pada dasarnya adalah warga negara biasa yang sama dengan peserta didik lainnya.
7.   Ada dua institusi yang perlu memperoleh penguatan dan penegasan fungsi agar mampu memberikan arahan dan masukan kepada Pemerintah dalam mengambil kebijakan pendidikan, termasuk perubahan kurikulum. Kedua institusi ini adalah: (1) Balitbangdikbud, sebagai perangkat Kementrian yang mempunyai tupoksi antara lain melakukan kajian mendalam dan riset kebijakan pendidikan. Penelitian tentang perkembangan anak Indonesia, yang menjadi landasan bagi pengembangan sebuah kurikulum, merupakan salah satu tugas Balitbangdikbud. (2) Dewan Pendidikan Nasional, yang dijamin keberadaannya sebagaimana arahan Pasal 56. Dewan Pendidikan Nasional  adalah lembaga indipenden yang merupakan representasi masyarakat, dan bukan pejabat negara, yang harus terbebas dari kepentingan politik, menjamin stabilitas pendidikan, dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Dewan Pendidikan selayaknya pula melakukan riset dan kajian pendidikan agar mampu memberikan arah kebijakan kepada Pemerintah secara tepat.
8.   Jelasnya, landasan filosofis-yuridis tentang pendidikan Indonesia yang digariskan dalam UU No. 20/2033 sudah memberikan rambu-rambu penyelenggaraan pendidikan nasional dalam bingkai Pancasila, konteks kehidupan global, dan pembentukan kakrakter bangsa. Penegasan-penegasan dimaksud tampak jelas pada pasal-pasal antara lain:  Pasal 1 (1), Pasal (3), Pasal 4 (1-3), Pasal 37, Pasal 56.  Jelasnya landasan pendidikan bangsa ini sudah baik dan utuh, namun implementasinya yang masih jauh dari memadai. Langkah yang diperlukan saat ini adalah melakukan perubahan mind set secara menyeluruh tentang pendidikan bangsa yang didasarkan pada pemaknaan utuh atas aspek-aspek filosfis dan kerangka pikir pendidikan yang terkandung dalam UU No. 20/2003 dan merumuskannnya ke dalam Kerangka Kerja Sistem Pendidikan Nasional secara komprehensif yang menggambarkan konsistensi antara pemaknaan landasan filosofis-yuridis dengan kebijakan, regulasi, dan implementasi yang didukung oleh sistem manajemen pendidikan yang profesional dan  riset yang berhasil guna dan dengan mewujdukan pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia Indonesia.

No comments:

Post a Comment