Jun 25, 2015

Pendidikan Inklusi, Pendidikan Abad 21

Investasi pendidikan adalah prediktor masa depan bangsa yang tercermin dalam mutu sumber daya manusia yang akan dihasilkan melalui upaya pendidikan itu. Modal dasar yang amat dahsyat di Indonesia adalah potensi jumlah penduduk produktif. Dalam kurun waktu 15-20  tahun mendatang diperkirakan lebih dari 60% penduduk Indonesia berada pada usia produktif (15-64 tahun). Potensi ini harus dikelola dengan tepat dan pendidikan adalah wahana paling strategis untuk mengelola potensi penduduk produktif dimaksud. 

Mereka yang akan menduduki posisi usia produktif pada 15-20 tahun yang akan datang adalah mereka yang pada saat ini berusia antara 0-40 tahun. Dari rentang usia itu dua kutub kritis yang harus menjadi perhatian adalah mereka yang berada pada kelompok usia dini (0-5 tahun) dan usia mahasiswa (18-23 tahun) yang saat ini sedang menempuh kuliah. Kelompok usia dini akan menjadi mahasiswa pada 15 tahun mendatang dan kelompok mahasiswa saat ini akan menjadi kelompok yang amat produktif pada tahun 2035.
Pendidikan Inklusi
Dalam konteks pemanfaatan anggaran pendidikan, dua kutub kritis ini perlu mendapat perhatian dan prioritas, tanpa mengabaikan kelompok usia yang berada di antara kedua kutub itu. Investasi dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dimaksudkan untuk memberikan kepastian bahwa tidak ada anak usia dini yang tidak memperoleh akses pendidikan. Anak usia dini tak boleh diabaikan. Sebab jika terabaikan, maka usia produktif pada 15-20 tahun mendatang yang akan menjadi penopang kekuatan ekonomi dan daya saing bangsa tidak akan bisa disiapkan dengan baik, dan perkembangan bangsa bisa terganggu.
Angka partisipasi kasar (APK) PAUD sebesar 56,7% pada awal tahun 2010 dan target 72,9% pada tahun 2014 memerlukan investasi besar dan gerakan nasional secara menyeluruh. Dengan kecenderungan pencapaian target seperti yang digambarkan, diharapkan pada tahun 2025 seluruh populasi anak usia dini memperoleh layanan pendidikan anak usia dini.  Invenstasi PAUD harus mencakup infrastruktur dan ketenagaan, yang pada saat ini masih jauh dari standar yang diharapkan. Untuk mencapai harapan anak usia dini masa kini menjadi manusia Indonesia produktif pada 15 tahun yang akan datang maka PAUD tidak boleh diabaikan dan harus memperoleh prioritas pembiayaan.
Untuk mempercepat peningkatan daya saing bangsa dan pertumbuhan ekonomi, prioritas anggaran pendidikan harus pula diberikan kepada pendidikan tinggi. Ada dua hal utama yang perlu mendapat prioritas penganggaran di perguruan tinggi. Pertama, peningkatan mutu, aksesibilitas, relevansi, dan kesetaraan gender pada program S1, termasuk juga politeknik. Kedua, penambahan jumlah doktor. Ini penting karena lulusan pendidikan tinggi adalah tenaga ahli dan profesional yang siap memasuki dunia kerja (usaha dan industri) ataupun membuka lapangan kerja baru. Kelompok ini akan menjadi critical mass dan menjadi kekuatan untuk akselerasi pertumbuhan dan perubahan ekonomi dan penguatan daya saing bangsa. 
Kekuatan ini diharapkan akan mampu mengurangi eksploitasi ekonomi perkotaan karena terjadinya penyebaran kemampuan ke seluruh pelosok tanah air yang secara potensial dapat menumbuhkan sentra-sentra ekonomi baru. Untuk itu, peningkatan APK pendidikan tinggi dari 24,67% pada tahun 2010 dan ditargetkan menjadi 30,0% pada tahun 2014, yang telah menjadi program dan target Kemdikbud, perlu didukung anggaran yang memadai dan berkelanjutan. Demikian pula penyediaan anggaran untuk membiayai mahasiswa yang secara ekonomi tidak beruntung namun memiliki potensi akademik tinggi, melalui program bidik misi bagi 20.000 mahasiswa per tahun perlu dijamin keberlanjutannya. Persoalan mutu, aksesibilitas dan keterjangkauan, relevansi, dan kesetaraan gender adalah variabel yang harus dipenuhi seiring dengan upaya peningkatan APK pendidikan tinggi.
Pendidikan abad 21 akan harus mendekatkan peserta didik ke dunia kerja. Pendidikan inklusi bertolak dari prinsip yang amat hakiki bahwa semua warga Negara berhak memperoleh pendidikan tanpa kecuali. Pendidikan inklusi mengabaikan pertimbangan kecakapan intelektual, ras, agama, latar belakang budaya dan faktor keragaman lainnya. Pemerolehan hak ini dijamin oleh Undang-undang, dan di Indonesia dijamin oleh  Pasal 31 (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa  “ Semua warga Negara berhak mendapat pendidikan”, termasuk di dalamnya anak-anak berkebutuhan khusus. Pasal 5 (2,3,4,) UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas menegaskan
(2)  Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
(3)    Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
(4)    Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.

Makna pendidikan khusus dan layanan khusus yang terkandung dalam bunyi pasal ayat yang disebutkan tidak serta merta mengartikan bahwa pendidikan bagi polulasi dimaksud terselenggara secara terpisah dengan warga Negara lainnya. Pembersamaan belajar antara warga Negara yang berkebutuhan khusus (ABK) dengan peserta didik lain yang secara intelektual normal adalah hal yang dimungkinkan, dan itulah prinsip dasar pendidikan inklusi.  Kendatipun demikian pendidikan inklusi bukanlah semata-mata mengintegrasikan pendidikan anak normal dengan anak yang mengalami kecacatan seperti tuna grahita, tuna daksa, tuna rungu dan wicara, tuna netra, dan jenis difable lainnya dalam satu sekolah atau kelas. Hal itu tidak keliru, namun makna pendidikan inklusi lebih dalam dari apa yang disebutkan.
Pendidikan inklusi menyangkut diversifikasi layanan berbasis keragaman individual peserta didik dalam konteks keragaman budayanya. Pendidikan inklusi adalah pendidikan dalam keragaman peserta didik (diverse learner) dan keragaman budaya (diverse culture) dan proses transaksi budaya yang terjadi di dalamnya. Kecenderungan kehidupan seperti itu terjadi dalam kehidupan  abad 21 saat ini,  kehidupan global dan trans budaya yang berimplikasi pada proses pendidikan dan belajar peserta didik. Sekolah akan dihadiri oleh peserta didik dengan ragam latar budaya, ras, etnik, dan agama, di samping keragaman kecakapan intelektual. Pendidikan dan layanan sekolah yang hanya mengutamakan pengembangan kecakapan intelektual dengan mengesampingkan pengembangan kecakapan dan aspek lain yang disebutkan mengandung arti menjauhkan peserta didik dari realitas kehidupan, jelasnya kehidupan abad 21 yang sedang dialami.

Pendidikan inklusi mendekatkan proses pendidikan dan perkembangan peserta didik ke dalam kehidupan nyata. Pendidikan inklusi adalah pendidikan kebhinekaan yang akan mampu menumbuhkan dikap demokratis, toleransi, saling pemahaman, empatik, sebagai nilai-nilai dan perilaku yang diperlukan di dalam membangun dan memperkokoh kebangsaan. Ada semangat besar secara kultural yang terkandung di dalam pendidikan inklusi. Oleh karena itu pendidikan inklusi seyogyana tidak dimaknai sebatas kebersamaan belajar aantara ABK dengan anak-anak normal lainnya melainkan keutuhan bangsa di dalam kebhinekaan. Dalam konteks kehidupan antar bangsa dan antar budaya, pendidikan inklusi adalah strategi tepat untuk   memenuhi kebutuhan  belajar pada abad 21. Belajar dalam seting inklusi adalah belajar berbasis potensi yang beragam (diverse potentialities). Dengan demikian proses pembelajaran inklusi (mestinya) tidak didasarkan pada label-label kelainan yang disandang peserta didik (tuna netra, tuna grahita dsb) melainkan didasarkan kepada kondisi objektif  potensi peserta didik yang harus diases dan difahami secara mendalam oleh guru. Implikasinya, guru harus faham akan gaya belajar setiap peserta didik sehingga dia mampu mendiagnosis dan mengembangkan strategi intervensi proses belajar peserta didik secara efektif.

No comments:

Post a Comment