Investasi pendidikan adalah prediktor masa depan bangsa yang tercermin dalam mutu sumber daya manusia yang akan dihasilkan melalui upaya pendidikan itu. Modal dasar yang amat dahsyat di Indonesia adalah potensi jumlah penduduk produktif. Dalam kurun waktu 15-20 tahun mendatang diperkirakan lebih dari 60% penduduk Indonesia berada pada usia produktif (15-64 tahun). Potensi ini harus dikelola dengan tepat dan pendidikan adalah wahana paling strategis untuk mengelola potensi penduduk produktif dimaksud.
Mereka yang akan menduduki
posisi usia produktif pada 15-20 tahun yang akan datang adalah mereka yang pada
saat ini berusia antara 0-40 tahun. Dari rentang usia itu dua kutub kritis yang
harus menjadi perhatian adalah mereka yang berada pada kelompok usia dini (0-5
tahun) dan usia mahasiswa (18-23 tahun) yang saat ini sedang menempuh kuliah.
Kelompok usia dini akan menjadi mahasiswa pada 15 tahun mendatang dan kelompok
mahasiswa saat ini akan menjadi kelompok yang amat produktif pada tahun 2035.
Pendidikan Inklusi |
Dalam konteks pemanfaatan
anggaran pendidikan, dua kutub kritis ini perlu mendapat perhatian dan
prioritas, tanpa mengabaikan kelompok usia yang berada di antara kedua kutub
itu. Investasi dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dimaksudkan untuk
memberikan kepastian bahwa tidak ada anak usia dini yang tidak memperoleh akses
pendidikan. Anak usia dini tak boleh diabaikan. Sebab jika terabaikan, maka
usia produktif pada 15-20 tahun mendatang yang akan menjadi penopang kekuatan
ekonomi dan daya saing bangsa tidak akan bisa disiapkan dengan baik, dan
perkembangan bangsa bisa terganggu.
Angka partisipasi kasar (APK)
PAUD sebesar 56,7% pada awal tahun 2010 dan target 72,9% pada tahun 2014
memerlukan investasi besar dan gerakan nasional secara menyeluruh. Dengan
kecenderungan pencapaian target seperti yang digambarkan, diharapkan pada tahun
2025 seluruh populasi anak usia dini memperoleh layanan pendidikan anak usia
dini. Invenstasi PAUD harus mencakup
infrastruktur dan ketenagaan, yang pada saat ini masih jauh dari standar yang
diharapkan. Untuk mencapai harapan anak usia dini masa kini menjadi manusia
Indonesia produktif pada 15 tahun yang akan datang maka PAUD tidak boleh
diabaikan dan harus memperoleh prioritas pembiayaan.
Untuk mempercepat peningkatan
daya saing bangsa dan pertumbuhan ekonomi, prioritas anggaran pendidikan harus
pula diberikan kepada pendidikan tinggi. Ada dua hal utama yang perlu mendapat
prioritas penganggaran di perguruan tinggi. Pertama, peningkatan mutu,
aksesibilitas, relevansi, dan kesetaraan gender pada program S1, termasuk juga
politeknik. Kedua, penambahan jumlah doktor. Ini penting karena lulusan
pendidikan tinggi adalah tenaga ahli dan profesional yang siap memasuki dunia
kerja (usaha dan industri) ataupun membuka lapangan kerja baru. Kelompok ini
akan menjadi critical mass dan
menjadi kekuatan untuk akselerasi pertumbuhan dan perubahan ekonomi dan
penguatan daya saing bangsa.
Kekuatan ini diharapkan akan
mampu mengurangi eksploitasi ekonomi perkotaan karena terjadinya penyebaran
kemampuan ke seluruh pelosok tanah air yang secara potensial dapat menumbuhkan
sentra-sentra ekonomi baru. Untuk itu, peningkatan APK pendidikan tinggi dari
24,67% pada tahun 2010 dan ditargetkan menjadi 30,0% pada tahun 2014, yang
telah menjadi program dan target Kemdikbud, perlu didukung anggaran yang
memadai dan berkelanjutan. Demikian pula penyediaan anggaran untuk membiayai
mahasiswa yang secara ekonomi tidak beruntung namun memiliki potensi akademik
tinggi, melalui program bidik misi bagi 20.000 mahasiswa per tahun perlu
dijamin keberlanjutannya. Persoalan mutu, aksesibilitas dan keterjangkauan,
relevansi, dan kesetaraan gender adalah variabel yang harus dipenuhi seiring
dengan upaya peningkatan APK pendidikan tinggi.
Pendidikan abad 21 akan harus mendekatkan peserta didik
ke dunia kerja. Pendidikan inklusi bertolak dari prinsip yang amat hakiki bahwa
semua warga Negara berhak memperoleh pendidikan tanpa kecuali. Pendidikan
inklusi mengabaikan pertimbangan kecakapan intelektual, ras, agama, latar
belakang budaya dan faktor keragaman lainnya. Pemerolehan hak ini dijamin oleh
Undang-undang, dan di Indonesia dijamin oleh
Pasal 31 (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “ Semua
warga Negara berhak mendapat pendidikan”, termasuk di dalamnya anak-anak
berkebutuhan khusus. Pasal 5 (2,3,4,) UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas
menegaskan
(2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus.
(3) Warga negara di daerah terpencil atau
terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan
layanan khusus.
(4) Warga negara yang memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Makna pendidikan khusus dan
layanan khusus yang terkandung dalam bunyi pasal ayat yang disebutkan tidak
serta merta mengartikan bahwa pendidikan bagi polulasi dimaksud terselenggara
secara terpisah dengan warga Negara lainnya. Pembersamaan belajar antara warga
Negara yang berkebutuhan khusus (ABK) dengan peserta didik lain yang secara
intelektual normal adalah hal yang dimungkinkan, dan itulah prinsip dasar
pendidikan inklusi. Kendatipun demikian
pendidikan inklusi bukanlah semata-mata mengintegrasikan pendidikan anak normal
dengan anak yang mengalami kecacatan seperti tuna grahita, tuna daksa, tuna
rungu dan wicara, tuna netra, dan jenis difable lainnya dalam satu sekolah atau
kelas. Hal itu tidak keliru, namun makna pendidikan inklusi lebih dalam dari
apa yang disebutkan.
Pendidikan inklusi menyangkut
diversifikasi layanan berbasis keragaman individual peserta didik dalam konteks
keragaman budayanya. Pendidikan inklusi adalah pendidikan dalam keragaman
peserta didik (diverse learner) dan
keragaman budaya (diverse culture)
dan proses transaksi budaya yang terjadi di dalamnya. Kecenderungan kehidupan
seperti itu terjadi dalam kehidupan abad
21 saat ini, kehidupan global dan trans
budaya yang berimplikasi pada proses pendidikan dan belajar peserta didik.
Sekolah akan dihadiri oleh peserta didik dengan ragam latar budaya, ras, etnik,
dan agama, di samping keragaman kecakapan intelektual. Pendidikan dan layanan
sekolah yang hanya mengutamakan pengembangan kecakapan intelektual dengan
mengesampingkan pengembangan kecakapan dan aspek lain yang disebutkan
mengandung arti menjauhkan peserta didik dari realitas kehidupan, jelasnya
kehidupan abad 21 yang sedang dialami.
Pendidikan inklusi
mendekatkan proses pendidikan dan perkembangan peserta didik ke dalam kehidupan
nyata. Pendidikan inklusi adalah pendidikan kebhinekaan yang akan mampu
menumbuhkan dikap demokratis, toleransi, saling pemahaman, empatik, sebagai
nilai-nilai dan perilaku yang diperlukan di dalam membangun dan memperkokoh
kebangsaan. Ada semangat besar secara kultural yang terkandung di dalam
pendidikan inklusi. Oleh karena itu pendidikan inklusi seyogyana tidak dimaknai
sebatas kebersamaan belajar aantara ABK dengan anak-anak normal lainnya
melainkan keutuhan bangsa di dalam kebhinekaan. Dalam konteks kehidupan antar
bangsa dan antar budaya, pendidikan inklusi adalah strategi tepat untuk memenuhi kebutuhan belajar pada abad 21. Belajar dalam seting
inklusi adalah belajar berbasis potensi yang beragam (diverse potentialities). Dengan demikian proses pembelajaran inklusi
(mestinya) tidak didasarkan pada label-label kelainan yang disandang peserta
didik (tuna netra, tuna grahita dsb) melainkan didasarkan kepada kondisi
objektif potensi peserta didik yang
harus diases dan difahami secara mendalam oleh guru. Implikasinya, guru harus
faham akan gaya belajar setiap peserta didik sehingga dia mampu mendiagnosis
dan mengembangkan strategi intervensi proses belajar peserta didik secara
efektif.
No comments:
Post a Comment