Jun 25, 2015

Pendidikan Karakter dalam Sisdiknas



Pendidikan Karakter, Apa itu Pendidikan Karakter?, Konsep Pendidikan Karakter, Pendidikan Karakter di Indonesia
Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter bukanlah pembelajaran sebuah bidang studi tapi menjadi bahagian yang terintegrasi dalam keutuhan semua proses pendidikan yang terwujud dalam pembelajaran dan layanan lainnya. Pendidikan karakter bukan juga hal baru dari sistem pendidikan nasional, sebab dalam UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas sudah terkandung amanah pendidikan karakter. Oleh karena itu yang harus dibangun sekarang adalah iklim dan kultur pendidikan dan pembelajaran yang mendukung pembentukan karakter, sesuai dengan jiwa UU Sisdiknas. Alangkah baiknya dalam program 100 hari  ada pencanangan dan penegasan konsep tentang membangun kultur pembelajaran yang mendidik dan pentingnya pendidikan alih generasi dalam menyiapkan manusia Indonesia masa depan. Target yang ingin dicapai dalam 100 hari yaitu bergulirnya wacana: (1)  pembelajaran yang mendidik dan (2)  pembenahan kultur pendidikan.
Pembelajaran yang mendidik dikonseptualisasikan sebagai pembelajaran yang mengandung Doble Helix Effect, yang melahirkan dampak instruksional dan nurturan dalam penguatan karakter.  Pembenahan kultur pendidikan dikonseptualisasikan sebagai penataan atas regulasi, praktek, dan tindakan pendidikan yang tidak sehat dengan menggunakan rujukan makna utuh pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam UU Sisdiknas. Pengguliran wacana ini penting sebagai trigger untuk langkah-langkah berikutnya dalam mengembangkan strategi pendidikan karakter.
Nation and Character Building dalam membangun bangsa ini adalah hal yang amat filosofis dan menyangkut pengembangan esensi pembangunan manusia seutuhnya. Pembangunan politik, ekonomi, hukum, keamanan serta penguasaan sains dan teknologi harus menyatu dengan pembangunan karakter manusia sebagai pelaku dari politik, ekonomi, hukum, dan pengembang serta pengguna sains dan teknologi, agar berujung pada kesejahteraan, kemaslahatan dan perdamaian umat manusia.
Pendidikan karakter menjadi sangat penting bagi pembangunan bangsa dan pendidikan itu sendiri ketika praksis pendidikan selama ini telah kehilangan moral pendidikan. Teramati perilaku ketidak jujuran dalam pendidikan, seperti kasus ujian nasional, ijazah palsu, perjokian, lemahnya internalisasi nilai-nilai pendidikan, dan terfragmentasinya ranah-ranah pendidikan menjadi lebih berorientasi dan didominasi ranah kognitif. Teramati pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang menunjukkan perilaku korup yang tinggi, pergeseran nilai dasar ke nilai instrumental pragmatik, dan reduksi nilai-nilai demokrasi oleh kepentingan individu dan kelompok.
Kondisi yang disebutkan di atas merupakan indikator memburuknya kualitas kehidupan bangsa,  semakin melemahnya karakter, yang bisa mengarah kepada kehancuran bangsa, yang ditunjukkan pada  perilaku-perilaku: kekerasan, ketidak jujuran, semakin tidak hormat kepada sesama, melemahnya kohesi sosial, pengaruh peer group terhadap tindak kekerasan, meningkatnya kecurigaan dan kebencian, penggunaan bahasa yang memburuk, penuruan etos kerja, melemahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, semakin tinggi perilaku merusak diri, dan semakin kaburnya pedoman moral.
Pendidikan karakter yang saat ini menjadi salah satu perhatian kuat  Mendiknas harus disambut baik dan dirumuskan pemikiran dan langkah-langkah tindakan sistematik dan komprehensif, yang harus diletakan dalam Bingkai Utuh Sistem Pendidikan Nasional sebagai rujukan normatif penyelenggaraan pendidikan nasional, dengan mengacu kepada prinsip-prinsip berikut.
Pertama, karakter adalah sebuah keunikan yang melekat pada individu, kelompok, masyarakat atau bangsa. Namun karakter bangsa bukanlah agregasi karakter perorangan, karena karakter bangsa harus terwujud dalam rasa kebangsaaan yang kuat, berlandaskan kepada core values yang bersifat universal  dalam konteks kultur yang beragam. Karakter bangsa mengandung perekat kultural, yang harus terwujud dalam kesadaran kultural (cultural awareness) dan kecerdasan kultural (cultural intellgence) setiap warga negara. Karakter menyangkut perilaku yang amat luas karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kerja keras, kejujuran, displin mutu, etika dan estetika, komitmen, dan rasa kebangsaan yang kuat. Perlu dirumuskan esensi nilai-nilai yang terkandung dalam makna karakter yang berakar pada filosofi Pancasila,  kesakralan Sang Saka Merah Putih, semboyan Bhineka Tunggal Ika, lambang Garuda Pancasila, lagu kebangsaan Indonesia Raya. Esensi nilai-nilai dimaksud harus menjadi bahagian dari isi pendidikan dan melalui pendidikan karakter terjadi internalisasi nilai baik pada tingkatan individu, kelompok, maupun lembaga.
 Kedua, pendidikan  karakter adalah sebuah proses berkelanjutan dan tak pernah berakhir  (never ending proccess) selama sebuah bangsa ada dan ingin tetap eksis. Pendidikan karakter harus menjadi bahagian terpadu dari pendidikan alih generasi. Pendidikan adalah persoalan kemanusiaan yang harus dihampiri dari perkembangan manusia itu sendiri. Oleh karena itu perlu diketahui dan dirumuskan secara utuh sosok  manusia Indonesia masa depan. Riset komprehensif perlu dilakukan untuk merumuskan sosok manusia Indonesia masa depan sebagai landasan pendidikan dan pengembangan karakter bangsa. Riset dimaksud mesti berakar pada filosofi dan nilai-nilai kultural bangsa Indonesia dalam konteks kehidupan antar bangsa dan perkembangan sains dan teknologi.
Ketiga, pasal 1 (3) dan pasal 3 UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas adalah landasan legal formal akan keharusan membangun karakter bangsa melalui upaya pendidikan. Ada tiga ranah tujuan pendidikan yang dapat diinferensi dari makna yang terkandung dalam Pasal dan ayat dimaksud, yaitu: (1) watak dan  peradaban bangsa yang bermartabat  yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan agama sebagai tujuan eksistensial pendidikan, yang (2) melandasi pencerdasan kehidupan bangsa sebagai tujuan kolektif yang di dalamnya mengandung kecerdasan kultural, karena kecerdasan kehidupan bangsa bukanlah agregasi kecerdasan perorangan atau individual, dan (3)   melalui pengembangan potensi peserta didik sebagai tujuan individual. Tiga ranah tujuan ini harus dicapai secara utuh melalui proses pendidikan dalam berbagai jalur dan jenjang.  Proses pendidikan, yang secara mikro terwujud dalam proses pembelajaran, harus dibangun sebagai sebuah proses transaksi kultural yang harus mengembangkan karakter sebagai bahagian yang terintegrasi dari pengembangan sains, teknologi dan seni, dan tidak terjebak pada proses pendidikan di tingkat tujuan individual. 
Keempat, proses pembelajaran sebagai wahana pendidikan dan pengembangan karakter yang tak terpisahkan dari pengembangan kemampuan sains, teknologi, dan seni telah dirumuskan secara amat bagus sebagai landasan legal pengembangan pembelajaran dalam Pasal 1 (1) UU No. 20/2003. Yang perlu dikaji ulang adalah pemaknaan secara tepat dan utuh dari pasal ayat dimaksud yang mengiringi kebijakan, regulasi dan praktek penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan pada saat ini yang didominasi oleh praktek pendidikan tingkat individual perlu direvitalisasi sehingga menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dan bahkan harus menjadi wahana utama bagi pendidikan dan pengembangan karakter. Proses pembelajaran perlu dikembalikan kepada khitahnya sebagai proses mendidik manusia secara kaafah.
Kelima, proses pembelajaran yang mendidik sebagai wahana pendidikan karakter harus dibangun atas makna yang terkandung dalam Pasal-pasal dan ayat yang disebutkan, dan secara konsisten menjadi landasan dan kebijakan penyelenggaraan pembelajaran, termasuk kurikulum dan sistem manajemen. Ilmu mendidik dan ilmu pendidikan yang dikembangkan para ahli pendidikan di LPTK, dalam lima dekade terakhir di Republik ini, dirasa tetap relevan dengan kepentingan pendidikan karakter serta pemaknaan dan perumusan regulasi dan kebijakan pendidikan. Perlu reposisi dan revitalisasi ilmu mendidik dan pendidikan di dalam pendidikan karakter dan di dalam melahirkan regulasi-regulasi dan kebijakan pendidikan, dengan dukungan political will, yang pada saat ini keberadaan dan peran ilmu pendidikan sudah banyak terpinggirkan. Revitalisasi LPTK dan penguatan ilmu pendidikan sebagai ilmu perlu menjadi salah satu fokus utama dari upaya pendidikan karakter.
Keenam, proses pendidikan karakter akan melibatkan ragam aspek perkembangan peserta didik, baik kognitif, konatif, afektif, maupun psikomotorik sebagai suatu keutuhan (holistik) dalam konteks kehidupan kultural. Proses pembelajaran yang membangun karakter tidak bukanlah sebuah proses linier, layaknya dalam pembelajaran kebanyakan bidang studi yang bersifat transformasi informasi walaupun sesungguhnya itu keliru, tapi tidak bisa juga berwujud menjadi sebuah mata pelajaran “pendidikan karakter’ yang diajarkan sebagai sebuah bidang studi. Pengembangan karakter harus menyatu dalam proses pembelajaran yang mendidik, disadari oleh guru sebagai tujuan pendidikan, dikembangkan dalam suasana pembelajaran yang transaksional dan bukan instruksional, dan dilandasi pemahaman secara mendalam terhadap perkembangan peserta didik. Suasana pembelajaran ini akan menumbuhkan nurturan effect pembelajaran yang memperkuat pengembangan karakter, soft skills dan sejenisnya seiring dengan perkembangan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan dalam pembelajaran itu sendiri. Inilah sesungguhnya esensi dari kompetensi dan kinerja guru profesional yang dalam pelaksanaannya harus didukung oleh kebijakan dan regulasi yang tepat tentang pembelajaran. Pembelajaran dibangun sebagai proses kultural, dan pendidik adalah perekayasa kultur pembelajaran dan kultur sekolah.  Perlu dikembangkan kultur sekolah yang sehat sebagai ekologi perkembangan peserta didik dengan segala perangkat pendukungnya. 
Ketujuh,  sekolah sebagai lingkungan pembudayaan peserta didik dan guru sebagai “perekayasa” kultur sekolah tidak terlepas dari regulasi, kebijakan, dan birokrasi. Semua yang disebutkan itu harus ditata dan disiapkan untuk mendukung terwujudnya pendidikan karakter melalui pengembangan kultur pembelajaran dan sekolah sebagai ekologi perkembangan peserta didik.  Perlu reformasi mind set  di seluruh lapisan masyarakat pendidikan, di tingkat pusat maupun daerah, sehingga mampu melihat dan memposisikan pendidikan sebagai proses membangun karakter, membangun kultur sekolah yang sehat, dan membangun perilaku birokrasi atas dasar pemahaman secara benar tentang esensi pendidikan. Reformasi mind set ini perlu didukung oleh political will yang kuat dari Pemerintah Pusat dan Daerah, dan memposisikan pendidikan bukan sebagai proses birokratik-administratif, yang bisa membuat pendidikan lebih menjadi ranah dan beban politik daripada sebagai layanan profesional sejati. Guru di lapangan, terutama pasca sertifikasi yang belum diikuti dengan penataan manajemen ketenagaan, perlu dibina menjadi penyelenggara layanan profesional sejati yang tanggung jawab utama pembinaan ini terletak pada Pemerintah Daerah. Para calon guru harus dididik dengan landasan keilmuan pendidikan dan pendidikan disiplin ilmu yang kokoh yang menjadi tanggung jawab utama LPTK.
Kedelapan, pendidikan karakter adalah pendidikan sepanjang hayat, sebagai proses perkembangan ke arah manusia kaafah. Oleh karena itu pendidikan karakter memerlukan keteladanan dan sentuhan mulai sejak dini sampai dewasa. Periode yang paling sensitif dan menetukan adalah pendidikan dalam keluarga yang menjadi tanggung jawab orang tua. Pola asuh atau parenting style adalah salah satu faktor yang secara signifikan  turut membentuk karakter anak. Pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan utama dan pertama bagi anak, yang tidak bisa digantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Oleh karena itu pendidikan dalam keluarga untuk membangun sebuah  community of learner tentang pendidikan anak perlu menjadi sebuah kebijakan pendidikan dalam upaya membangun karakter bangsa secara berkelanjutan.
Kesembilan, pendidikan karakter akan harus bersifat multi level, multi chanel, dan multi setting karena tidak mungkin hanya dilaksanakan oleh sekolah. Pembentukan karakter perlu keteladanan, perilaku nyata dalam seting kehidupan otentik dan tidak bisa dibangun secara instan. Oleh karena itu pendidikan karakter harus menjadi sebuah gerakan moral yang bersifat holistik, melibatkan berbagai pihak dan jalur, dan berlangsung dalam seting kehidupan alamiah. Namun, yang harus dihindari jangan sampai tersesat menjadi gerakan dan ajang politik yang pada akhirnya hanya akan membentuk perilaku-perilaku formalistik-pragmatis-ritualistik yang berorientasi kepada asas manfaat sesaat, yang justru akan semakin merusak karakter dan martabat bangsa dalam jangka panjang.

No comments:

Post a Comment