Pendidikan Karakter |
Pendidikan karakter bukanlah
pembelajaran sebuah bidang studi tapi menjadi bahagian yang terintegrasi dalam
keutuhan semua proses pendidikan yang terwujud dalam pembelajaran dan layanan
lainnya. Pendidikan karakter bukan juga hal baru dari sistem pendidikan
nasional, sebab dalam UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas sudah terkandung amanah
pendidikan karakter. Oleh karena itu yang harus dibangun sekarang adalah iklim
dan kultur pendidikan dan pembelajaran yang mendukung pembentukan karakter,
sesuai dengan jiwa UU Sisdiknas. Alangkah baiknya dalam program 100 hari ada pencanangan dan penegasan konsep tentang
membangun kultur pembelajaran yang
mendidik dan pentingnya pendidikan alih generasi dalam menyiapkan manusia
Indonesia masa depan. Target yang
ingin dicapai dalam 100 hari yaitu bergulirnya wacana: (1) pembelajaran yang mendidik dan (2) pembenahan kultur pendidikan.
Pembelajaran yang mendidik
dikonseptualisasikan sebagai pembelajaran yang mengandung Doble Helix Effect, yang melahirkan dampak instruksional dan
nurturan dalam penguatan karakter.
Pembenahan kultur pendidikan dikonseptualisasikan sebagai penataan atas
regulasi, praktek, dan tindakan pendidikan yang tidak sehat dengan menggunakan
rujukan makna utuh pendidikan
sebagaimana diamanatkan dalam UU Sisdiknas. Pengguliran wacana ini penting
sebagai trigger untuk langkah-langkah
berikutnya dalam mengembangkan strategi pendidikan karakter.
Nation and Character Building dalam membangun bangsa ini adalah hal yang amat filosofis dan menyangkut
pengembangan esensi pembangunan manusia seutuhnya. Pembangunan politik,
ekonomi, hukum, keamanan serta penguasaan sains dan teknologi harus menyatu
dengan pembangunan karakter manusia sebagai pelaku dari politik, ekonomi,
hukum, dan pengembang serta pengguna sains dan teknologi, agar berujung pada
kesejahteraan, kemaslahatan dan perdamaian umat manusia.
Pendidikan karakter menjadi
sangat penting bagi pembangunan bangsa dan pendidikan itu sendiri ketika
praksis pendidikan selama ini telah kehilangan moral pendidikan. Teramati
perilaku ketidak jujuran dalam pendidikan, seperti kasus ujian nasional, ijazah
palsu, perjokian, lemahnya internalisasi nilai-nilai pendidikan, dan
terfragmentasinya ranah-ranah pendidikan menjadi lebih berorientasi dan didominasi
ranah kognitif. Teramati pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang
menunjukkan perilaku korup yang tinggi, pergeseran nilai dasar ke nilai
instrumental pragmatik, dan reduksi nilai-nilai demokrasi oleh kepentingan
individu dan kelompok.
Kondisi yang disebutkan di
atas merupakan indikator memburuknya kualitas kehidupan bangsa, semakin melemahnya karakter, yang bisa
mengarah kepada kehancuran bangsa, yang ditunjukkan pada perilaku-perilaku: kekerasan, ketidak
jujuran, semakin tidak hormat kepada sesama, melemahnya kohesi sosial, pengaruh
peer group terhadap tindak kekerasan,
meningkatnya kecurigaan dan kebencian, penggunaan bahasa yang memburuk,
penuruan etos kerja, melemahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara,
semakin tinggi perilaku merusak diri, dan semakin kaburnya pedoman moral.
Pendidikan karakter yang saat
ini menjadi salah satu perhatian kuat
Mendiknas harus disambut baik dan dirumuskan pemikiran dan
langkah-langkah tindakan sistematik dan komprehensif, yang harus diletakan dalam
Bingkai Utuh Sistem Pendidikan Nasional
sebagai rujukan normatif penyelenggaraan pendidikan nasional, dengan mengacu
kepada prinsip-prinsip berikut.
Pertama, karakter adalah sebuah
keunikan yang melekat pada individu, kelompok, masyarakat atau bangsa. Namun
karakter bangsa bukanlah agregasi karakter perorangan, karena karakter bangsa
harus terwujud dalam rasa kebangsaaan yang kuat, berlandaskan kepada core values yang bersifat universal dalam konteks kultur yang beragam. Karakter
bangsa mengandung perekat kultural, yang harus terwujud dalam kesadaran
kultural (cultural awareness) dan
kecerdasan kultural (cultural
intellgence) setiap warga negara.
Karakter menyangkut perilaku yang amat luas karena di dalamnya terkandung
nilai-nilai kerja keras, kejujuran, displin mutu, etika dan estetika, komitmen,
dan rasa kebangsaan yang kuat. Perlu dirumuskan esensi nilai-nilai yang
terkandung dalam makna karakter yang berakar pada filosofi Pancasila, kesakralan Sang Saka Merah Putih, semboyan
Bhineka Tunggal Ika, lambang Garuda Pancasila, lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Esensi nilai-nilai dimaksud harus menjadi bahagian dari isi pendidikan dan
melalui pendidikan karakter terjadi internalisasi nilai baik pada tingkatan
individu, kelompok, maupun lembaga.
Kedua, pendidikan karakter adalah sebuah
proses berkelanjutan dan tak pernah berakhir
(never ending proccess) selama
sebuah bangsa ada dan ingin tetap eksis. Pendidikan karakter harus menjadi
bahagian terpadu dari pendidikan alih generasi. Pendidikan adalah persoalan
kemanusiaan yang harus dihampiri dari perkembangan manusia itu sendiri. Oleh
karena itu perlu diketahui dan dirumuskan secara utuh sosok manusia Indonesia masa depan. Riset
komprehensif perlu dilakukan untuk merumuskan sosok manusia Indonesia masa
depan sebagai landasan pendidikan dan pengembangan karakter bangsa. Riset
dimaksud mesti berakar pada filosofi dan nilai-nilai kultural bangsa Indonesia
dalam konteks kehidupan antar bangsa dan perkembangan sains dan teknologi.
Ketiga, pasal 1 (3) dan pasal 3 UU
No. 20/2003 tentang Sisdiknas adalah landasan legal formal akan keharusan
membangun karakter bangsa melalui upaya pendidikan. Ada tiga ranah tujuan
pendidikan yang dapat diinferensi dari makna yang terkandung dalam Pasal dan
ayat dimaksud, yaitu: (1) watak dan
peradaban bangsa yang bermartabat
yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan agama sebagai tujuan eksistensial pendidikan, yang (2)
melandasi pencerdasan kehidupan bangsa sebagai tujuan kolektif yang di dalamnya mengandung kecerdasan kultural, karena
kecerdasan kehidupan bangsa bukanlah agregasi kecerdasan perorangan atau
individual, dan (3) melalui
pengembangan potensi peserta didik sebagai tujuan
individual. Tiga ranah tujuan ini harus dicapai secara utuh melalui proses
pendidikan dalam berbagai jalur dan jenjang.
Proses pendidikan, yang secara mikro terwujud dalam proses pembelajaran,
harus dibangun sebagai sebuah proses transaksi kultural yang harus
mengembangkan karakter sebagai bahagian yang terintegrasi dari pengembangan
sains, teknologi dan seni, dan tidak terjebak pada proses pendidikan di tingkat
tujuan individual.
Keempat, proses pembelajaran sebagai
wahana pendidikan dan pengembangan karakter yang tak terpisahkan dari
pengembangan kemampuan sains, teknologi, dan seni telah dirumuskan secara amat
bagus sebagai landasan legal pengembangan pembelajaran dalam Pasal 1 (1) UU No.
20/2003. Yang perlu dikaji ulang adalah pemaknaan secara tepat dan utuh dari
pasal ayat dimaksud yang mengiringi kebijakan, regulasi dan praktek
penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan pada saat ini yang didominasi oleh
praktek pendidikan tingkat individual perlu direvitalisasi sehingga menjadi
bahagian yang tidak terpisahkan dan bahkan harus menjadi wahana utama bagi
pendidikan dan pengembangan karakter. Proses pembelajaran perlu dikembalikan
kepada khitahnya sebagai proses mendidik manusia secara kaafah.
Kelima, proses pembelajaran yang
mendidik sebagai wahana pendidikan karakter harus dibangun atas makna yang
terkandung dalam Pasal-pasal dan ayat yang disebutkan, dan secara konsisten
menjadi landasan dan kebijakan penyelenggaraan pembelajaran, termasuk kurikulum
dan sistem manajemen. Ilmu mendidik dan ilmu pendidikan yang dikembangkan para
ahli pendidikan di LPTK, dalam lima dekade terakhir di Republik ini, dirasa
tetap relevan dengan kepentingan pendidikan karakter serta pemaknaan dan
perumusan regulasi dan kebijakan pendidikan. Perlu reposisi dan revitalisasi
ilmu mendidik dan pendidikan di dalam pendidikan karakter dan di dalam
melahirkan regulasi-regulasi dan kebijakan pendidikan, dengan dukungan political will, yang pada saat ini
keberadaan dan peran ilmu pendidikan sudah banyak terpinggirkan. Revitalisasi
LPTK dan penguatan ilmu pendidikan sebagai ilmu perlu menjadi salah satu fokus
utama dari upaya pendidikan karakter.
Keenam, proses pendidikan karakter
akan melibatkan ragam aspek perkembangan peserta didik, baik kognitif, konatif,
afektif, maupun psikomotorik sebagai suatu keutuhan (holistik) dalam konteks
kehidupan kultural. Proses pembelajaran yang membangun karakter tidak bukanlah
sebuah proses linier, layaknya dalam pembelajaran kebanyakan bidang studi yang
bersifat transformasi informasi walaupun sesungguhnya itu keliru, tapi tidak
bisa juga berwujud menjadi sebuah mata pelajaran “pendidikan karakter’ yang
diajarkan sebagai sebuah bidang studi. Pengembangan karakter harus menyatu
dalam proses pembelajaran yang mendidik, disadari oleh guru sebagai tujuan
pendidikan, dikembangkan dalam suasana pembelajaran yang transaksional dan
bukan instruksional, dan dilandasi pemahaman secara mendalam terhadap
perkembangan peserta didik. Suasana pembelajaran ini akan menumbuhkan nurturan effect pembelajaran yang
memperkuat pengembangan karakter, soft
skills dan sejenisnya seiring dengan perkembangan pengetahuan dan
keterampilan yang dikembangkan dalam pembelajaran itu sendiri. Inilah
sesungguhnya esensi dari kompetensi dan kinerja guru profesional yang dalam
pelaksanaannya harus didukung oleh kebijakan dan regulasi yang tepat tentang
pembelajaran. Pembelajaran dibangun sebagai proses kultural, dan pendidik
adalah perekayasa kultur pembelajaran dan kultur sekolah. Perlu dikembangkan kultur sekolah yang sehat
sebagai ekologi perkembangan peserta didik dengan segala perangkat
pendukungnya.
Ketujuh, sekolah sebagai lingkungan pembudayaan
peserta didik dan guru sebagai “perekayasa” kultur sekolah tidak terlepas dari
regulasi, kebijakan, dan birokrasi. Semua yang disebutkan itu harus ditata dan
disiapkan untuk mendukung terwujudnya pendidikan karakter melalui pengembangan
kultur pembelajaran dan sekolah sebagai ekologi perkembangan peserta didik. Perlu reformasi mind set di seluruh lapisan
masyarakat pendidikan, di tingkat pusat maupun daerah, sehingga mampu melihat
dan memposisikan pendidikan sebagai proses membangun karakter, membangun kultur
sekolah yang sehat, dan membangun perilaku birokrasi atas dasar pemahaman
secara benar tentang esensi pendidikan. Reformasi mind set ini perlu didukung
oleh political will yang kuat dari
Pemerintah Pusat dan Daerah, dan memposisikan pendidikan bukan sebagai proses
birokratik-administratif, yang bisa membuat pendidikan lebih menjadi ranah dan
beban politik daripada sebagai layanan profesional sejati. Guru di lapangan,
terutama pasca sertifikasi yang belum diikuti dengan penataan manajemen
ketenagaan, perlu dibina menjadi penyelenggara layanan profesional sejati yang
tanggung jawab utama pembinaan ini terletak pada Pemerintah Daerah. Para calon
guru harus dididik dengan landasan keilmuan pendidikan dan pendidikan disiplin
ilmu yang kokoh yang menjadi tanggung jawab utama LPTK.
Kedelapan, pendidikan karakter adalah
pendidikan sepanjang hayat, sebagai proses perkembangan ke arah manusia kaafah. Oleh karena itu pendidikan
karakter memerlukan keteladanan dan sentuhan mulai sejak dini sampai dewasa.
Periode yang paling sensitif dan menetukan adalah pendidikan dalam keluarga
yang menjadi tanggung jawab orang tua. Pola asuh atau parenting style adalah salah satu faktor yang secara
signifikan turut membentuk karakter
anak. Pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan utama dan pertama bagi anak,
yang tidak bisa digantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Oleh karena itu
pendidikan dalam keluarga untuk membangun sebuah community
of learner tentang pendidikan anak perlu menjadi sebuah kebijakan
pendidikan dalam upaya membangun karakter bangsa secara berkelanjutan.
Kesembilan, pendidikan karakter akan
harus bersifat multi level, multi chanel,
dan multi setting karena tidak
mungkin hanya dilaksanakan oleh sekolah. Pembentukan karakter perlu
keteladanan, perilaku nyata dalam seting kehidupan otentik dan tidak bisa
dibangun secara instan. Oleh karena itu pendidikan karakter harus menjadi
sebuah gerakan moral yang bersifat holistik, melibatkan berbagai pihak dan
jalur, dan berlangsung dalam seting kehidupan alamiah. Namun, yang harus
dihindari jangan sampai tersesat menjadi gerakan dan ajang politik yang pada
akhirnya hanya akan membentuk perilaku-perilaku
formalistik-pragmatis-ritualistik yang berorientasi kepada asas manfaat sesaat,
yang justru akan semakin merusak karakter dan martabat bangsa dalam jangka
panjang.
No comments:
Post a Comment