KONSEP PENDIDIKAN |
Tafsiran klasik atau rasionalistik,
yang bersumber pada filsafat Yunani dan Romawi, memandang manusia sebagai
mahluk rasional. Para ahli filsafat seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, dan
Kant termasuk ke dalam faham pertama ini. Dalam pandangan Sokrates maupun
Plato, manusia yang cerdas itu adalah manusia yang berbudi atau manusia yang
saleh; ("... the
intelligent man is the virtuous man.”) (Titus, 1959: 142). Demikian pula
Aristoteles memiliki pandangan yang sama dengan Plato bahwa: “... the reason (nous)
is man’s true self and indestructible essence.” (Cornford, 1945: 342).
Kulminasi pandangan klasik ini terletak pada filsafat Kant yang juga memandang
manusia sebagai mahluk rasional (Fromm; Xirau, 1968: 4-5). Kant mengakui bahwa
dengan kemampuan rasio, manusia memperoleh pengalaman dan pengetahuan tetapi
pengalaman dan pengetahuan itu tidak dapat dijadikan dasar keyakinan yang absolut bagi manusia.
Secara singkat dapat dikatakan, bahwa menurut pandangan klasik (rasionalistik)
manusia itu difahami terutama dari segi hakikat dan keunikan pikirannya. Pandangan
ini merupakan
pandangan optimistik, terutama mengenai keyakinan akan kemampuan pikiran
manusia.
Tafsiran teologis tidak melihat
manusia dari segi keunikan pikiran atau hubungannya dengan alam, tapi lebih
melihat manusia itu sebagai mahluk ciptaan Tuhan, dan dibuat menurut aturan
Tuhan. Manusia hanya akan menemukan dirinya apabila dia mampu
mentransendensikan kehidupan yang alami kepada tingkatan yang
paling tinggi, yaitu
Tuhan. Manusia adalah
mahluk yang memiliki kemungkinan untuk berbuat baik atau
jahat; dia memiliki kelemahan dan keunggulan. Kelemahan manusia dapat membawa
dirinya terperosok ke dalam tataran kehidupan yang paling rendah (tingkat
kehidupan hewani), tapi dengan kekuatanya pula manusia dapat mencapai tingkat
kehidupan yang lebih tinggi. Dalam tafsiran teologis perkembangan manusia
terarah kepada upaya menemukan nilai kehidupan instrinsik dan mengabdikan diri
kepada Tuhan. Tafsiran teologis ini bersumber
dari ajaran agama (tertentu), sehingga dimungkinkan pula keragaman pandangan
tentang hakikat manusia walaupun ada hal-hal yang bersifat universal.
Tafsiran ilmiah tentang manusia
cukup bervariasi, bergantung kepada sudut pandang ilmu yang digunakan.
Ilmu-ilmu fisis menganggap manusia sebagai bagian dari keteraturan alam
fisikal; oleh karena itu manusia harus difahami dari segi hukum-hukum fisis dan
kimiawi. (Titus, 1959: 143). Studi dan tafsiran ilmiah tentang manusia ini
pertama kali dilakukan oleh Freud (Fromm; Xirau, 1968: 5), yang menerapkan
hukum-hukum fisika dalam memahami dan menjelaskan mekanisme perilaku manusia.
Penjelajahan singkat terhadap tiga
kecenderungan tafsiran tentang hakikat manusia yang diungkapkan di atas
memerlukan pengkajian lebih lanjut untuk memahami hakikat manusia secara
komprehensif. Tafsiran rasionalistik mencoba mengangkat derajat manusia sebagai
mahluk yang memiliki kemerdekaan berpikir. Namun tampak terlupakan bahwa
manusia itu adalah mahluk yang mempunyai kehendak dan tak pernah hidup dalam
kevakuman sosial. Oleh karena itu (Titus, 1959: 146) penekanan terhadap
kekuatan kemotekaran inteligensi (creative
intelligence) manusia tidak semata-mata menggambarkan
karakteristik pembeda manusia, melainkan juga terkandung makna akan keberadaan
harapan sosial tertentu karena pengembangan kualitas pikiran manusia selalu
dalam kehidupan sosial. Tampak di sini bahwa manusia bukan mahluk rasional
belaka. Ini berarti
bahwa tafsiran rasionalistik bukan tafsiran yang lengkap tentang manusia.
Tafsiran teologis akan menjadi
pandangan yang tidak lengkap manakala hanya melihat manusia sebagai mahluk yang
tidak bisa mengembangkan diri karena "bergantung" kepada kekuatan
transendental di luar dininya. Tafsiran seperti ini akan menjadi sempit karena
nilai-nilai Ke-Tuhanan menjadi sesuatu yang statik yang tidak bisa dipikirkan
oleh manusia. Demikian pula tafsiran ilmiah merupakan tafsiran yang tidak
lengkap karena melihat manusia hanya sebagai serpihan dari dunianya yang harus
tunduk kepada hukum-hukum alam; atau manusia sebagai produk sosial belaka.
Apabila demikian, dari sudut atau
tafsiran mana hakikat manusia itu dijelaskan? Phenix (1964) menganggap adalah
tugas ahli filsafat untuk memahami hakikat manusia secara komprehensif serta
memberikan klarifikasi dan penilaian analitik terhadap berbagai pandangan
tentang hakikat manusia. Pandangan komprehensif ini harus menganalisis hakikat manusia
dari berbagai sisi.
Berbagai pandangan filosofis tentang
hakikat manusia dapat ditelusuri. Akan tetapi di dalam buku ini tidak mungkin
diadakan penelusuran terhadap setiap aliran filsafat. Pengakuan terhadap
kemampuan berpikir manusia sebagai kekuatan yang dapat dipergunakan untuk
mengembangkan dirinya, menuntut penelusuran lebih jauh terhadap aliran filsafat
yang menekankan kepada kemampuan berpikir dan kebebasan manusia.
Sebagaimana disebutkan, bahwa
pemikiran Kant merupakan kulminasi aliran filsafat yang memandang manusia
sebagai mahluk rasional. Kant mengakui kemampuan berpikir manusia, tapi Kant
juga mengakui bahwa apa yang diperoleh manusia dengan kemampuan berpikirnya
mengandung keterbatasan. Apa yang dikemukakan
Kant di dalam Crtique of Pure
Reason, Critique of Practical Reason, Critique of Judgment merupakan
pandangan Kant tentang hakikat manusia.
Menurut Kant, pengetahuan yang
diperoleh manusia melalui
pengalaman indrawi bukanlah
pengetahuan yang hakiki karena
pengetahuan dari pengalaman
indrawi itu sudah tercemari
oleh struktur pikiran manusia. Pengetahuan yang hakiki telah ada sebelum
pengalaman. Oleh karena itu pengalaman indrawi
harus ditransendensikan menjadi hasil pikiran yang tuntas.
Menurut Kant, objek transendensi itu
tidak dapat dijangkau oleh pemikiran teoretik atau dibuktikan melalui pengalaman, melainkan harus diyakini
akan keberadaan prinsip moral yang absolut dan
universal. Dikatakan oleh Kant, bahwa “... faith
must be put beyond to reach or realm of reason. But therefore the moral basis
of religion must be absolute, not derived from questionable sense experience or
precarious inference; it must be derived from the inner self by direct
perception and intuition.” (Durant, 1957: 275-276)\
Dalam pandangan Kant, suatu tindakan
yang baik bukan karena tindakan itu menghasilkan sesuatu yang baik atau dilakukan
secara bijaksana melainkan karena tindakan itu dilakukan semata-mata atas
ketaatan terhadap kewajiban yang datang dari kesadaran diri sendiri. Kesadaran
akan kewajiban ini hanya mungkin terjadi apabila
manusia merasa memiliki kebebasan berkehendak
dalam dirinya. Bagi Kant, kebebasan itu mutlak diperlukan untuk mewujudkan setiap keyakinan
moral atau religius. Kebebasan kehendak yang dimaksudkan oleh Kant adalah
kebebasan kehendak yang mandiri, yakni
kehendak yang datang dari diri sendiri dan bukan yang dipaksakan dari
luar (Titus, 1959; Bambrough, 1979). Dengan kata
lain, motif melakukan suatu tindakan lebih penting daripada konsekuensi
tindakan itu, walaupun konsekuensi tindakan itu bukan sesuatu yang tidak
penting. Motif bertindak yang baik adalah yang dilandasi pikiran dan bukan
semata-mata keinginan. Motif ini merupakan
prinsip moral yang oleh Kant disebut the categorical
imperative. Prinsip
moral inilah yang menjembatani hubungan manusia dengan dunianya.
Moralitas dalam faham Kant adalah
rasional. Penerimaan prinsip-prinsip moral menjadi prinsip atau kekuatan yang
mandiri didasarkan atas timbangan intelek, atas dasar pemahaman dan kemampuan
berpikir, dan bukan atas dasar perasaan atau emosi. Dalam faham Kant (Mackie,
1981: 29) timbangan moral itu adalah categorical
imperative. Pemahaman
dan kemampuan berpikir manusia membentuk kekuatan diri
untuk menimbang prinsip-prinsip moral menjadi kekuatan moralitas dan tidak
sekedar menjadi aturan moral yang tidak terwujudkan di dalam perbuatan. Di
sinilah letak kekuatan menimbang (judgment)
pada diri manusia yang akan melahirkan motivasi bertindak secara mandiri.
Pandangan tentang manusia sebagai
mahluk yang memiliki kebebasan memilih dan mengembangkan diri atas tanggung
jawab sendiri tampak pula dalam pandangan eksistensialisme dan fenomenologis.
Dalam pandangan eksitensialisme manusia adalah mahluk yang mampu menyadari diri
sendiri, unik, dan memiliki kapasitas tersendiri yang memungkinkan dia berpikir
dan mengambil keputusan (Corey, 1977: 34). Manusia adalah mahluk yang memiliki
kebebasan dan tanggung jawab pribadi. (Titus, 1959: 294). Makin manusia sadar
makin dia memperoleh kebebasan. Kekuatan manusia untuk memilih alternatif,
dalam arti mengambil keputusan secara bebas di dalam keterbatasannya, adalah
aspek esensial dari keberadaan manusia. Kaum eksistensialis memandang bahwa
manusia bentanggungjawab atas keberadaan dan takdir dirinya. Manusia tidak
dibentuk oleh kekuatan pengkondisian yang deterministik.
Kebebasan yang dimiliki manusia
bukanlah sesuatu yang harus dibuktikan atau diperdebatkan, melainkan sesuatu
kenyataan yang harus dialami oleh manusia itu sendiri (Titus, 1954: 294).
Kebebasan itu mengungkapkan tuntutan hakikat batiniah manusia dan menyatakan
keadaan diri yang sejati atau otentik, yakni mengahadapi pilihan, membuat
keputusan, dan menerima tanggung jawab. Dalam pandangan eksistensialisme,
manusia lahir dalam keadaan tidak selesai dan oleh karena itu dia bertanggung
jawab atas keberadaan dirinya di dunia ini.
Ke arah mana manusia itu hidup? Kaum
eksistensialis tampak sefaham bahwa kehidupan manusia terarah menuju being (keberadaan diri).
Tapi dalam memaknai tentang apa yang dimaksud dengan keberadaan diri terjadi
keragaman penafsiran. Dalam eksistensialisme faham Kierkegaard (Titus, 1959)
keberadaan diri adalah suatu kondisi di mana manusia memahami dan menghayati
sumber keberadaannya, kehidupan jiwa yang lestari,
takdir, dan kenyataan bahwa Tuhan itu adalah kekuatan tertinggi yang mutlak.
Sangat bertentangán dengan faham Nietzsche yang menyatakan doktrin bahwa “Tuhan
itu mati”, dan dia melihat keberadaan diri itu sebagai suatu kondisi yang mengarah kepada “Kehendak Untuk
Berkuasa” (Will to Power).
Kehendak hidup menjadi kehendak untuk berkuasa. Menurut Nietzsche manusia
tidak menemukan nilai melainkan menciptakan nilai dan
memproyeksikan nilai itu ke dalam kehidupan dunia. Pemikiran Nietzsche ini menghadapkan manusia kepada ketiadaan
nilai dan tujuan yang pasti, membawa kehidupan manusia ke
dalam situasi nihilistik.
Sejalan dengan pemikiran Kierkegaard
dan Heidegger, kaum fenomologis mengartikan
keberadaan diri itu "menjadi di sana” (“to be the there”);
"di sana” bukan dalam arti dunia eksternal, melainkan pemahaman terhadap
keterbukaan dunia (Hall & lindzey, 1981: 320). Heidegger menafsirkan
keberadaan diri itu dalam tiga persoalan pokok yang dia ajukan sebagai dasar
pemahaman keberadaan manusia. Ketiga persoalan itu ialah: kemahlukan manusia,
keberadaan konkrit, dan keberadaan transendental.
Manusia sebagai mahluk ingin mengetahui keberakhiran dirinya. Kecemasan
yang dialami manusia memungkinkan dia menjadi sadar akan
keberadaannya. Manusia mampu mempertanyakan dirinya dan menembus misteri
keberadaannya. Keberadaan manusia di dunia merupakan ciri esensial kehidupan.
Akan tetapi keberadaan ini sering
membawa manusia ke dalam situasi kehidupan hampa tanpa pangkal tempat bertolak,
karena dia kehilangan kesadaran akan keberadaan dirinya dalam kenyataan akhir (ultimate reality). Oleh
karena itu, menurut Heidegger, keberadaan konkrit ini harus ditransendesikan
sehingga manusia menjadi terbuka terhadap totalitas keberadaan yang sudah ada (Being as Such). Tanpa transendensi, apa yang diketahui dan dipelajari
manusia akan semata-mata menjadi kumpulan data positivistik. Persoalan manusia
ialah "....become exsistentially what he is essentially” (Titus, 1959:
301). Manusia dapat mengetahui melalui
wawasan tentang keberadaan diri sendiri. Untuk memahami keberadaan yang telah
ada itu, manusia dituntut untuk hidup dan berbuat melalui proses-proses
pengambilan keputusan.
Pemikiran Heidegger ini sejalan
dengan pemikiran Jaspers (Titus, 1959: 301) tentang penemuan makna yang tidak
dapat dicapai melalui pemikiran positivistik belaka, melainkan
harus melalui spirit dan penerimaan bentuk-bentuk idealisme dan pengujian
keberadaan pribadi. Untuk sampai kepada keberadaan pribadi ini, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang
harus dipertimbangkan manusia. Ketiga hal itu ialah: kedirian, komunikasi
dengan sesama dalam kehidupan sosial, dan keragaman struktur kesejarahan
masyarakat. Jasper pun memandang bahwa kebermaknaan hidup itu akan diperoleh
dari keberadaan diri yang otentik, yakni diri yang bertransenden, dan proses
transendensi itu dipandu oleh cinta kasih, iman, dan wawasan.
Esensi uraian yang digambarkan
menegaskan pengakuan terhadap manusia sebagai mahluk yang memiliki kemampuan
berpikir dan kehendak serta memperoleh kemerdekaan (freedom) untuk mengembangkan diri. Yang perlu dikaji lebih jauh
ialah apa yang menjadi pemersatu keberadaan manusia dan kemana manusia itu
bertransenden?
Kemerdekaan yang dimiliki manusia
akan menimbulkan keragaman antar manusia yang bisa menjadi sumber konflik bagi
manusia itu sendiri. Bahkan kemerdekaan berpikir dan berkehendak yang ada pada
diri manusia bisa menjadi sumber konflik dalam dirinya sendiri, karena objek
kehendak tidak selalu sama dengan objek
berpikir. Kondisi eksistensial manusia seperti ini tidak akan pernah terlepas
dari Dunianya, sehingga
dalam menentukan dan mengembangkan diri manusia harus selalu berorientasi pada
Dunianya. Upaya manusia mengembangkan diri tanpa berorientasi pada Dunianya
berarti menghindari kesejatian eksistensi dirinya. Untuk itulah manusia harus
mengembangkan kesadaran yaitu kesadaran akàn diri sendiri, lingkungan, dan kesadaran
akan kekuatan yang Maha Tinggi. Schumacher (1978:29) mengatakan bahwa kesadaran
inilah yang membedakan eksistensi manusia dari mahluk lain, karena memang
kesadaran hanya dimiliki oleh manusia.
Keragaman yang disebabkan oleh
kemerdekaan manusia, membawa manusia ke dalam proses “dialektika” baik antar
maupun intra dirinya. Dialektika kemerdekaan, dalam arti proses memilih yang
dilakukan manusia mengandung keterikatan bagi manusia itu sendiri. Kemerdekaan
memilih mengandung arti juga sebagai kemerdekaan membentuk ikatan diri dengan
segala konsekuensi pilihan itu (Fromm, 1941; Fromm 1947;
Driyarkara, 1980).
Sifat dialektika kemerdekaan yang
dihadapi manusia tidak perlu menimbulkan benturan antara manusia sebagai mahluk
individual maupun sebagai mahluk sosial, maupun benturan dengan diri sendiri.
Kondisi ini hanya
mungkin dicapai apabila dalam diri manusia tumbuh suatu kesatuan eksistensi dan
bukan keragaman eksistensi (Khalifah Abdul Hakim,
1986 : 168). Adalah hal yang amat
logis jika prinsip
kesatuan eksistensi yang berperan sebagai pengendali dan dasar timbangan moral
dalam memecahkan dialektika kemerdekaan manusia tidak bersumber dari manusia
itu sendiri, melainkan bersumber dari kekuatan yang Maha Kuat yaitu Allah
s.w.t. Khalifah Abdul Hamnid (1986: 169) mengemukakan bahwa : “ Keragaman keinginan manusia tidak dapat
dibiarkan dalam keadaan berbenturan dan kacau, karena itu harus ada prinsip dan
tujuan yang mengendalikan keragaman itu.
Fitrah manusia untuk meyakini
kekuasaan Allah merupakan hakikat manusia yang tak terpisahkan dari hakikat manusia
sebagai mahluk pribadi maupun sosial. “Manusia diciptakan Allah menurut
fitrah-Nya, yakni fitrah untuk beragama Tauhid.” (QS.30: 30). Rasulullah s.a.w. bersabda, sebagai penolakan
terhadap doktrin dosa warisan, yang
maknanya bahwa: “Setiap anak itu dilahirkan dalam fitrahnya, dan hanya kedua orang tuanyalah yang
menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Tampak di sini bahwa manusia itu diberi kebebasaan dan kemerdekaan untuk
mengembangkan dirinya. Bukankah Allah s.w.t. menciptakan manusia sebagai
khalifah di bumi ini mengandung implikasi bahwa manusia itu memiliki
kemerdekaan? Dan apa yang menjadi poros kemerdekaan manusia ini? Fatah Jalal mengungkapkan bahwa yang
menjadi poros khilafah manusia
adalah penggunaan akal, pengembangan tugas-tugas samawi, pelaksanaan amanah
melalui jalur ilmu yang dipelajarinya, realisasi pemahaman serta pembedaan
antara yang buruk dengan yang baik. Tampak di sini bahwa manusia lebih unggul
daripada mahluk lain, karena manusia berbuat tidak sekedar menjalankan perintah
tanpa pemikiran dan kesadaran. Manusia adalah mahluk yang dipersiapkan untuk
berpikir dan memikul tanggung jawab serta amanah.
Sebagai mahluk Allah s.w.t. yang
memiliki kebebasan, manusia patut mengembangkan diri atas dasar kemerdekaan
pikiran dan kehendak yang dilandasi iman dan taqwa kepada Penciptanya, dalam
tatanan kehidupan bersama yang tertuju kepada pencapaian kehidupan yang sejalan
dengan fitrahnya. Kondisi eksistensial manusia ini mengandung implikasi bahwa manusia
berada dalam proses menjadi menuju keberadaan diri sebagai mahluk pribadi, sosial, dan mahluk Allah
s.w.t.
Kembali kepada persoalan pendidikan. Upaya pendidikan
hanya dikenal dalam kehidupan manusia yang berlangsung dalam lintas generasi
dan konteks kultural. Pendidikan adalah upaya membawa manusia dari kondisi apa
adanya (what it is) kepada kondisi
bagaimana seharusnya (what should be).
Berbicara tentang pendidikan tidak akan
pernah terlepas dari dan bahkan akan selalu terpaut dengan pembicaraan tentang
mansuia yang sedang berada dalam proses berkembang dengan segala dimensi
keunikannya. Terkandung makna di sini bahwa melalui proses pendidikan
diharapkan manusia berkembang ke arah bagaimana dia harus menjadi dan berada. Jika pendidikan ini
dipandang sebagai suatu upaya untuk membantu manusia menjadi apa yang bisa dia
perbuat dan bagaimana dia harus menjadi
dan berada, maka
pendidikan harus bertolak dari pemahaman tentang hakikat manusia. Pendidik
perlu memahami manusia dalam hal aktualitasnya, kemungkinan (possibilities), dan pemikirannya,
bahkan memahami perubahan yang dapat diharapkan terjadi dalam diri manusia.
Upaya pendidikan adalah upaya
normatif. Keajegan pandangan tentang hakikat manusia mutlak diperlukan di dalam
pendidikan, karena pandangan itu akan menjadi dasar arah normatif strategi
upaya pendidikan. Tampak bahwa pembicaraan tentang
pendidikan sejalan dengan pembicaraan tentang
hakikat manusia. Pemikiran tentang hakikat manusia seperti diungkapkan di muka
membawa implikasi imperatif bagi pendidikan untuk tidak terpaku pada ke-kini-an
dan ke-disini-an (here and now),
walaupun aspek itu diakui cukup penting.
“Pendidikan adalah persoalan tujuan
dan fokus.” (Bereiter, 1973: 6). Mendidik anak berarti bertindak secara
bertujuan dalam mempengaruhi perkembangan peserta didik sebagai satu kesatuan
pribadi. Kegiatan mengajar dan melatih adalah dua kegiatan yang seiring
dilakukan dalam proses pendidikan. Apakah keduanya itu memang merupakan
perbuatan mendidik, akan terpulang kepada persoalan tujuan dan fokus yang
disebutkan, dan tidak lepas dari hakikat manusia yang diberi pengaruh itu. Apa
yang patut dilakukan dan diberikan pendidik kepada peserta didik merupakan
suatu pilihan moral dan bukan pilihan teknis belaka. Ini berarti bahwa fokus
pendidikan bukan ke-kini-an dan ke-disini-an belaka.
Kembali kepada hakikat manusia yang
lahir dengan firahnya dan memiliki kemerdekaan untuk berkembang, maka pendidikan
harus dipandang sebagai upaya untuk mengembangkan kemerdekaan manusia yang
memungkinkan manusia “bereksistensi dan berekstensi menuju arah berinsistensi,
sebagai titik puncak dari penduniaannya.”. (Driyarkara, 1980: 57).
Pengembangan kemerdekaan manusia
melalui pendidikan, tidak lepas dari dialektika kemerdekaan sebagai bagian dari
hakikat manusia. Diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara, 1962: 4) bahwa:
Dalam pendidikan harus
senantiasa diingat bahwa kemerdekaan itu bersifat tiga macam: berdiri sendiri
(zelfstandig), tidak tergantung kepada orang lain (onafhankelijk) dan dapat
mengatur dirinya sendiri (vrijheid, zelfsbeschikking). Beratlah
kemerdekaan itu! Bukan hanya tidak terperintah saja, akan tetapi harus juga
dapat menegakkan dirinya dan mengatur perikehidupannya dengan tertib. Dalam hal
ini termasuklah juga mengatur tertibnya perhubungan dengan kemerdekaan orang
lain.
Walaupun pendidikan itu tidak pernah
berlangsung dalam kevakuman dan tidak pernah steril dari nilai-nilai sosial budaya,
pendidikan bukanlah proses transformasi dan sosialisasi nilai-nilai budaya
belaka. Pendidikan adalah proses individuasi,
yaitu membantu manusia berkembang sesuai dengan fitrah
kemerdekaannya, dengan memperhatikan keragaman pribadi dari setiap terdidik. Diungkapkan
oleh M.D. Dahlan (1988: 7) bahwa:
...kurang
tepatlah apabila Ilmu Pendidikan di pandang sebagai sosialisasi generasi muda
belaka. Alasannya ialah bahwa manusia hendaknya tidak tenggelam dalam
masyarakatnya yang menyebabkan kehilangan kepribadiannya, melainkan dalam
kehidupan bermasyarakatnya, ia tetap mampu mewüjudkan diri sebagai individu
yang mandiri.
Kemerdekaan yang dimiliki manusia
mengandung makna bahwa manusia itu tidak akan menjadi baik dan benar secara
otomatis. Dia harus mencapai kebaikan itu sebagai wujud dari kemerdekaannya.
“Kemerdekaan itu adalah esensi kebaikan; jika tidak ada kemerdekaan maka
kebaikan yang ada hanyalah kebaikan model malaikat, atau kebaikan alami yang
tingkatannya di bawah manusia." (Khalifah Abdul Hamid, 1986: 366).
Implikasi yang terkandung dari ungkapan ini ialah bahwa pendidikan mempunyai
tugas mengembangkan kemampuan manusia dalam melakukan pilihan yang baik dan
benar. Proses memilih (baik dan benar) adalah masalah normatif-etis. Memilih
yang baik dan benar bukan semata-mata mempertentangkannya dengan buruk dan
salah, melainkan memilih antara baik dengan baik, benar dengan benar, baik
dengan benar. Menurut Sidney Hook ( Harsja W. Bachtiar, 1980) inilah masalah
etis yang sesungguhnya.
Demikianlah kehidupan manusia yang
penuh dengan serba kemungkinan telah menuntut manusia untuk melakukan pilihan
dengan baik dan benar. Proses memilih bukanlah suatu proses mekanistik dan
naluriah tetapi suatu proses moralitas yang melibatkan kemampuan nalar secara
motekar (kreatif). Kemampuan nalar yang motekar ini dalam arti mampu berbuat
lebih baik. " Berbuat kebaikan adalah melestarikan dan menyempurnakan
nilai-nilai esensial,.” (K.A. Hamid, 1986: 171). Terkandung makna di sini bahwa
pendidikan tidak hanya bertugas melestarikan nilai-nilai kehidupan, tetapi juga
menumbuhkan keberanian motekar(“creative
courage”) (Rollo May, 1980) untuk mengembangkan dan bahkan mungkin
mengubah referensi nilai kehidupan ke arah yang lebih baik dan benar, atas
dasar “keberanian Imani”. (A. Sanusi, 1984). Soepardjo Adikusumo (1986)
menegaskan bahwa pendidikan itu merupakan proses transmisi pengetahuan,
pengembangan budaya, terapi budaya, dan sebagai community.
Pengembangan kemotekaran dalam
pendidikan mengandung arti bahwa pendidikan tidak hanya mengembangkan nilai-nilai
instrumental, walaupun itu diakui penting, tetapi juga harus membawa manusia
mampu menyebrang dari nilai-nilai instrumental menuju nilai intrinsik. Dalam
proses ini akan terjadi penghalusan, asimilasi, dan internalisasi nilai-nilai.
Diakui bahwa “... esensi kehidupan ini ialah gerak maju ke depan yang
senantiasa mengadakan asimilasi, ... dan untuk melakukan asimilasi itu
diperlukan berbagai alat seperti kecerdasan dan keahlian.” ( Moh. Iqbal, 1976:
25)
Uraian di atas menyuratkan bahwa (Kartadinata, 1988)
pendidikan mempunyai fungsi pengembangan
yakni membantu individu mengembangkan diri sesuai dengan fitrahnya
dan segala keunikannya; fungsi peragaman
(diferensiasi) yakni membantu individu memilih arah perkembangan
yang tepat sesuai dengan potensinya; dan fungsi integrasi, yakni membawa keragaman perkembangan itu kepada
arah dan tujuan yang hakiki sesuai dengan hakikat manusia, untuk menjadi
manusia yang utuh atau “manusia kaffah”. Fungsi-fungsi pendidikan sebagaimana
disebutkan merupakan satu kesatuan fungsi yang harus terwujud dan diwujudkan
secara sadar dalam setiap upaya dan tatanan pendidikan berlandaskan kepada hakikat manusia dan sesuai dengan sifat
kemanusiawian.
No comments:
Post a Comment