Jun 11, 2015

Konsep Pendidikan untuk Manusia Indonesia

Konsep Pendidikan, Konsep Pendidikan Indonesia, Konsep Pendidikan di Indonesia, Konsep Pendidikan Manusia Indonesia
KONSEP PENDIDIKAN
PENDIDIKAN adalah upaya normatif yang membawa manusia dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana seharusnya. Kemana manusia mau dibawa melalui upaya pendidikan? Jawabannya harus ditemukan melalui dan bermuara kepada pemahaman tentang hakikat manusia.  Berbicara tentang hakikat manusia tidak akan terlepas dari pertanyaan-pertanyaan antropomorfik karena pan­dangan manusia terhadap dunia dan dirinya tidak bisa lepas dari sudut pandang eksistensial manusia itu sendiri. Pertanyaan yang berkenaan dengan ‘Siapa saya?”, “Apa dunia ini?", "Apa yang harus saya perbuat?”, "Apa yang dapat saya harapkan?”, merupakan pertanyaan di sekitar upaya memahami hakikat manusia. Berbagai pandangan dan tafsiran telah mencoba ber­upaya menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Harold H. Titus (1959: 141-145) menggolongkan tiga aliran penafsiran terhadap hakikat manusia. Ketiga golongan itu ialah tafsiran klasik atau rasionalistik, tafsiran teologis, dan tafsiran ilmiah.
Tafsiran klasik atau rasionalistik, yang bersumber pada filsafat Yunani dan Romawi, memandang manusia sebagai mahluk rasional. Para ahli filsafat seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, dan Kant termasuk ke dalam faham pertama ini. Dalam pandangan Sokrates maupun Plato, manusia yang cerdas itu adalah manusia yang berbudi atau manusia yang saleh; ("... the intelligent man is the virtuous man.”) (Titus, 1959: 142). Demikian pula Aristoteles memiliki pandangan yang sama dengan Plato bahwa: “... the reason (nous) is man’s true self and indestructible essence.” (Cornford, 1945: 342). Kulminasi pandangan klasik ini ter­letak pada filsafat Kant yang juga memandang manusia sebagai mahluk rasional (Fromm; Xirau, 1968: 4-5). Kant mengakui bahwa dengan kemampuan rasio, manusia memperoleh pengalaman dan pengetahuan tetapi pengalaman dan pengeta­huan itu tidak dapat dijadikan dasar keyakinan yang absolut bagi manusia. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa menurut pandangan klasik (rasionalistik) manusia itu difahami terutama dari segi hakikat dan keunikan pikirannya. Pandangan ini merupakan pandangan optimistik, terutama mengenai keyakinan akan kemampuan pikiran manusia.
Tafsiran teologis tidak melihat manusia dari segi keunikan pikiran atau hubungannya dengan alam, tapi lebih melihat manusia itu sebagai mahluk ciptaan Tuhan, dan dibuat menurut aturan Tuhan. Manusia hanya akan menemukan dirinya apabila dia mampu mentransendensikan kehidupan yang alami kepada tingkatan  yang  paling  tinggi,  yaitu  Tuhan.  Manusia  adalah  mahluk  yang  memiliki kemungkinan untuk berbuat baik atau jahat; dia memiliki kelemahan dan keunggulan. Kelemahan manusia dapat membawa dirinya terperosok ke dalam tataran kehidupan yang paling rendah (tingkat kehidupan hewani), tapi dengan kekuatanya pula manusia dapat mencapai tingkat kehidupan yang lebih ting­gi. Dalam tafsiran teologis perkembangan manusia terarah kepada upaya menemukan nilai kehidupan instrinsik dan mengabdikan diri kepada Tuhan. Tafsiran teologis ini bersumber dari ajaran agama (tertentu), sehingga dimungkinkan pula keragaman pandangan tentang hakikat manusia walaupun ada hal-hal yang bersifat universal.
Tafsiran ilmiah tentang manusia cukup bervariasi, bergantung kepada sudut pandang ilmu yang digunakan. Ilmu-ilmu fisis menganggap manusia sebagai bagian dari keteraturan alam fisikal; oleh karena itu manusia harus difahami dari segi hukum-hukum fisis dan kimiawi. (Titus, 1959: 143). Studi dan tafsiran ilmiah tentang manusia ini pertama kali dilakukan oleh Freud (Fromm; Xirau, 1968: 5), yang menerapkan hukum-hukum fisika dalam memahami dan menjelaskan mekanisme perilaku manusia.
Penjelajahan singkat terhadap tiga kecenderungan tafsiran tentang hakikat manusia yang diungkapkan di atas memerlukan pengkajian lebih lanjut untuk memahami hakikat manusia secara komprehensif. Tafsiran rasionalistik mencoba mengangkat derajat manusia sebagai mahluk yang memiliki kemerdekaan berpikir. Namun tampak terlupakan bahwa manusia itu adalah mahluk yang mempunyai kehendak dan tak pernah hidup dalam kevakuman sosial. Oleh karena itu (Titus, 1959: 146) penekanan terhadap kekuatan kemotekaran inteligensi (creative intelligence) manusia tidak semata-mata menggambarkan karakteristik pembeda manusia, melainkan juga terkandung makna akan keberadaan harapan sosial tertentu karena pengembangan kualitas pikiran manusia selalu dalam kehidupan sosial. Tampak di sini bahwa manusia bukan mahluk rasional belaka. Ini berarti bahwa tafsiran rasionalistik bukan tafsiran yang lengkap tentang manusia.
Tafsiran teologis akan menjadi pandangan yang tidak lengkap manakala hanya melihat manusia sebagai mahluk yang tidak bisa mengembangkan diri karena "bergantung" kepada kekuatan transendental di luar dininya. Tafsiran seperti ini akan menjadi sempit karena nilai-nilai Ke-Tuhanan menjadi sesuatu yang statik yang tidak bisa dipikirkan oleh manusia. Demikian pula tafsiran ilmiah merupakan tafsiran yang tidak lengkap karena melihat manusia hanya sebagai serpihan dari dunianya yang harus tunduk kepada hukum-hu­kum alam; atau manusia sebagai produk sosial belaka.
Apabila demikian, dari sudut atau tafsiran mana hakikat manusia itu dijelaskan? Phenix (1964) menganggap adalah tugas ahli filsafat untuk memahami hakikat manusia secara komprehensif serta memberikan klarifikasi dan penilaian analitik terhadap berbagai pandangan tentang hakikat manusia. Pandangan komprehensif ini harus menganalisis hakikat manusia dari berbagai sisi.
Berbagai pandangan filosofis tentang hakikat ma­nusia dapat ditelusuri. Akan tetapi di dalam buku ini tidak mungkin diadakan penelusuran terhadap setiap aliran filsafat. Pengakuan terhadap kemampuan berpikir manusia sebagai kekuatan yang dapat dipergunakan untuk mengembangkan dirinya, menuntut penelusuran lebih jauh terhadap aliran filsafat yang menekankan kepada kemampuan berpikir dan kebebasan manusia.
Sebagaimana disebutkan, bahwa pemikiran Kant merupakan kulminasi aliran filsafat yang memandang manusia sebagai mahluk rasional. Kant mengakui kemampuan berpikir manusia, tapi Kant juga mengakui bahwa apa yang diperoleh manusia dengan kemampuan berpikirnya mengandung keterbatasan. Apa yang dikemukakan Kant di dalam Crtique of Pure Reason, Critique of Practical Reason, Critique of Judgment merupakan pandangan Kant tentang hakikat manusia.
Menurut Kant, pengetahuan yang diperoleh manusia melalui  pengalaman  indrawi  bukanlah  pengetahuan  yang hakiki  karena  pengetahuan  dari  pengalaman  indrawi  itu sudah  tercemari  oleh struktur pikiran  manusia.  Pengetahuan yang hakiki telah ada sebelum pengalaman. Oleh karena itu pengalaman indrawi harus ditransendensikan menjadi hasil pikiran yang tuntas.
Menurut Kant, objek transendensi itu tidak dapat dijangkau oleh pemikiran teoretik atau dibuktikan melalui pengalaman, melainkan harus diyakini akan keberadaan prinsip moral yang absolut dan universal. Dikatakan oleh Kant, bahwa “... faith must be put beyond to reach or realm of reason. But therefore the moral basis of religion must be absolute, not derived from questionable sense experience or precarious inference; it must be derived from the inner self by direct perception and intuition.” (Durant, 1957: 275-276)\
Dalam pandangan Kant, suatu tindakan yang baik bukan ka­rena tindakan itu menghasilkan sesuatu yang baik atau di­lakukan secara bijaksana melainkan karena tindakan itu dilakukan semata-mata atas ketaatan terhadap kewajiban yang datang dari kesadaran diri sendiri. Kesadaran akan kewajiban ini hanya mungkin terjadi apabila manusia merasa memiliki kebebasan berkehendak dalam dirinya. Bagi Kant, kebebasan itu mutlak diperlukan untuk mewujudkan setiap keyakinan moral atau religius. Kebebasan kehendak yang dimaksudkan oleh Kant adalah kebebasan kehendak yang mandiri, yakni kehendak yang datang dari diri sendiri dan bukan yang dipaksakan dari luar (Titus, 1959; Bambrough, 1979). Dengan kata lain, motif melakukan suatu tindakan lebih penting daripada konsekuensi tindakan itu, walaupun konsekuensi tindakan itu bukan sesuatu yang tidak penting. Motif bertindak yang baik adalah yang dilandasi pikiran dan bukan semata-mata keinginan. Motif ini merupakan prinsip moral yang oleh Kant disebut the categorical imper­ative. Prinsip moral inilah yang menjembatani hubungan manusia dengan dunianya.
Moralitas dalam faham Kant adalah rasional. Penerimaan prinsip-prinsip moral menjadi prinsip atau kekuat­an yang mandiri didasarkan atas timbangan intelek, atas dasar pemahaman dan kemampuan berpikir, dan bukan atas dasar perasaan atau emosi. Dalam faham Kant (Mackie, 1981: 29) timbangan moral itu adalah categorical imper­ative. Pemahaman dan kemampuan berpikir manusia membentuk kekuatan diri untuk menimbang prinsip-prinsip moral menjadi kekuatan moralitas dan tidak sekedar menjadi atur­an moral yang tidak terwujudkan di dalam perbuatan. Di sinilah letak kekuatan menimbang (judgment) pada diri manusia yang akan melahirkan motivasi bertindak secara mandiri.
Pandangan tentang manusia sebagai mahluk yang memiliki kebebasan memilih dan mengembangkan diri atas tanggung jawab sendiri tampak pula dalam pandangan eksistensialisme dan fenomenologis. Dalam pandangan eksitensialisme manusia adalah mahluk yang mampu menyadari diri sendiri, unik, dan memiliki kapasitas tersendiri yang memungkinkan dia berpikir dan mengambil keputusan (Corey, 1977: 34). Manusia adalah mahluk yang memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi. (Titus, 1959: 294). Makin manusia sadar makin dia memperoleh kebebasan. Kekuatan manusia untuk memilih alternatif, dalam arti mengambil keputusan secara bebas di dalam keterbatasannya, adalah aspek esensial dari keberadaan manusia. Kaum eksistensialis memandang bahwa manusia bentanggungjawab atas keberadaan dan takdir dirinya. Manusia tidak dibentuk oleh kekuatan pengkondisian yang deterministik.
Kebebasan yang dimiliki manusia bukanlah sesuatu yang harus dibuktikan atau diperdebatkan, melainkan se­suatu kenyataan yang harus dialami oleh manusia itu sendiri (Titus, 1954: 294). Kebebasan itu mengungkapkan tuntutan hakikat batiniah manusia dan menyatakan keadaan diri yang sejati atau otentik, yakni mengahadapi pilihan, membuat keputusan, dan menerima tanggung jawab. Dalam pandangan eksistensialisme, manusia lahir dalam keadaan tidak selesai dan oleh karena itu dia bertanggung jawab atas keberadaan dirinya di dunia ini.
Ke arah mana manusia itu hidup? Kaum eksistensialis tampak sefaham bahwa kehidupan manusia terarah menuju being (keberadaan diri). Tapi dalam memaknai tentang apa yang dimaksud dengan keberadaan diri terjadi keragaman penafsiran. Dalam eksistensialisme faham Kierkegaard (Titus, 1959) keberadaan diri adalah suatu kondisi di mana manusia memahami dan menghayati sumber keberadaannya, kehidupan jiwa yang lestari, takdir, dan kenyataan bahwa Tuhan itu adalah kekuatan tertinggi yang mutlak. Sangat bertentangán dengan faham Nietzsche yang menyatakan doktrin bahwa “Tuhan itu mati”, dan dia melihat keberadaan diri itu sebagai suatu kondisi yang mengarah kepada “Kehendak Untuk Berkuasa” (Will to Power). Kehendak hidup menjadi kehendak untuk berkuasa. Menurut Nietzsche manusia tidak menemukan nilai melainkan menciptakan nilai dan memproyeksikan nilai itu ke dalam kehidupan dunia. Pemikiran Nietzsche ini menghadapkan manusia kepada ketiadaan nilai dan tujuan yang pasti, membawa kehidupan manusia ke dalam situasi nihil­istik.
Sejalan dengan pemikiran Kierkegaard dan Heidegger, kaum  fenomologis  mengartikan  keberadaan diri itu "menjadi di sana” (“to be the there”); "di sana” bukan dalam arti dunia eksternal, melainkan pemahaman terhadap keterbukaan dunia (Hall & lindzey, 1981: 320). Heidegger menaf­sirkan keberadaan diri itu dalam tiga persoalan pokok yang dia ajukan sebagai dasar pemahaman keberadaan manusia. Ketiga persoalan itu ialah: kemahlukan manusia, keberadaan konkrit, dan keberadaan transendental.
Manusia sebagai mahluk ingin mengetahui keberakhiran dirinya. Kecemasan yang dialami manusia memungkinkan dia menjadi sadar akan keberadaannya. Manusia mampu mempertanyakan dirinya dan menembus misteri keberadaannya. Keberadaan manusia di dunia merupakan ciri esensial ke­hidupan. Akan tetapi keberadaan ini sering membawa manusia ke dalam situasi kehidupan hampa tanpa pangkal tempat bertolak, karena dia kehilangan kesadaran akan ke­beradaan dirinya dalam kenyataan akhir (ultimate reality). Oleh karena itu, menurut Heidegger, keberadaan konkrit ini harus ditransendesikan sehingga manusia menjadi ter­buka terhadap totalitas keberadaan yang sudah ada (Being as Such). Tanpa transendensi, apa yang diketahui dan dipelajari manusia akan semata-mata menjadi kumpulan data positivistik. Persoalan manusia ialah "....become exsistentially what he is essentially” (Titus, 1959: 301). Manusia dapat mengetahui melalui wawasan tentang keberadaan diri sendiri. Untuk memahami keberadaan yang telah ada itu, manusia dituntut untuk hidup dan berbuat melalui proses-proses pengambilan keputusan.
Pemikiran Heidegger ini sejalan dengan pemikiran Jaspers (Titus, 1959: 301) tentang penemuan makna yang tidak dapat dicapai melalui pemikiran positivistik belaka, melainkan harus melalui spirit dan penerimaan bentuk-ben­tuk idealisme dan pengujian keberadaan pribadi. Untuk sampai kepada keberadaan pribadi ini, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang harus dipertimbangkan manusia. Ketiga hal itu ialah: kedirian, komunikasi dengan sesama dalam kehidupan sosial, dan keragaman struktur kesejarahan masyarakat. Jasper pun memandang bahwa kebermaknaan hidup itu akan diperoleh dari keberadaan diri yang otentik, yakni diri yang bertransenden, dan proses transendensi itu dipandu oleh cinta kasih, iman, dan wawasan.
Esensi uraian yang digambarkan menegaskan pengakuan terhadap manusia sebagai mahluk yang memiliki kemampuan berpikir dan kehendak serta memperoleh kemerdekaan (freedom) untuk mengembangkan diri. Yang perlu dikaji lebih jauh ialah apa yang menjadi pemersatu keberadaan manusia dan kemana manusia itu bertransenden?
Kemerdekaan yang dimiliki manusia akan menimbulkan keragaman antar manusia yang bisa menjadi sumber konflik bagi manusia itu sendiri. Bahkan kemerdekaan berpikir dan berkehendak yang ada pada diri manusia bisa menjadi sum­ber konflik dalam dirinya sendiri, karena objek kehendak tidak selalu sama dengan objek berpikir. Kondisi eksist­ensial manusia seperti ini tidak akan pernah terlepas dari Dunianya, sehingga dalam menentukan dan mengembangkan diri manusia harus selalu berorientasi pada Dunia­nya. Upaya manusia mengembangkan diri tanpa berorientasi pada Dunianya berarti menghindari kesejatian eksistensi dirinya. Untuk itulah manusia harus mengembangkan kesadar­an yaitu kesadaran akàn diri sendiri, lingkungan, dan ke­sadaran akan kekuatan yang Maha Tinggi. Schumacher (1978:29) mengatakan bahwa kesadaran inilah yang membedakan eksistensi manusia dari mahluk lain, karena memang kesadaran hanya dimiliki oleh manusia.
Keragaman yang disebabkan oleh kemerdekaan manusia, membawa manusia ke dalam proses “dialektika” baik antar maupun intra dirinya. Dialektika kemerdekaan, dalam arti proses memilih yang dilakukan manusia mengandung keterikatan bagi manusia itu sendiri. Kemerdekaan memilih mengandung arti juga sebagai kemerdekaan membentuk ikatan diri dengan segala konsekuensi pilihan itu (Fromm, 1941; Fromm 1947; Driyarkara, 1980).
Sifat dialektika kemerdekaan yang dihadapi manusia tidak perlu menimbulkan benturan antara manusia sebagai mahluk individual maupun sebagai mahluk sosial, maupun benturan dengan diri sendiri. Kondisi ini hanya mungkin dicapai apabila dalam diri manusia tumbuh suatu kesatuan eksistensi dan bukan keragaman eksistensi (Khalifah Abdul Hakim, 1986 : 168).  Adalah  hal  yang  amat  logis  jika  prinsip kesatuan eksistensi yang berperan sebagai pengendali dan dasar timbangan moral dalam memecahkan dialektika ke­merdekaan manusia tidak bersumber dari manusia itu sen­diri, melainkan bersumber dari kekuatan yang Maha Kuat yaitu Allah s.w.t. Khalifah Abdul Hamnid (1986: 169) mengemukakan bahwa : Keragaman keinginan manusia tidak da­pat dibiarkan dalam keadaan berbenturan dan kacau, karena itu harus ada prinsip dan tujuan yang mengendalikan keragaman itu.
Fitrah manusia untuk meyakini kekuasaan Allah me­rupakan hakikat manusia yang tak terpisahkan dari hakikat manusia sebagai mahluk pribadi maupun sosial. “Manusia diciptakan Allah menurut fitrah-Nya, yakni fitrah untuk beragama Tauhid.” (QS.30: 30).  Rasulullah s.a.w. bersabda, sebagai penolakan terhadap doktrin dosa warisan,  yang maknanya bahwa: “Setiap anak itu dilahirkan dalam fitrahnya, dan hanya kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Tampak di sini bahwa manusia itu diberi kebebasaan dan kemerdekaan untuk mengembangkan dirinya. Bukankah Allah s.w.t. menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi ini mengandung impli­kasi bahwa manusia itu memiliki kemerdekaan? Dan apa yang menjadi poros kemerdekaan manusia ini? Fatah Jalal mengungkapkan bahwa yang menjadi poros khilafah manusia adalah penggunaan akal, pengembangan tugas-tugas samawi, pelaksanaan amanah melalui jalur ilmu yang dipelajarinya, realisasi pemahaman serta pembedaan antara yang buruk dengan yang baik. Tampak di sini bahwa manusia lebih unggul daripada mahluk lain, karena manusia berbuat tidak sekedar menjalankan perintah tanpa pemikiran dan kesadaran. Manusia adalah mahluk yang dipersiapkan untuk berpikir dan memikul tanggung jawab serta amanah.
Sebagai mahluk Allah s.w.t. yang memiliki kebeba­san, manusia patut mengembangkan diri atas dasar kemer­dekaan pikiran dan kehendak yang dilandasi iman dan taqwa kepada Penciptanya, dalam tatanan kehidupan bersama yang tertuju kepada pencapaian kehidupan yang sejalan dengan fitrahnya. Kondisi eksistensial manusia ini mengandung implikasi bahwa manusia berada dalam proses menjadi menuju keberadaan diri sebagai mahluk pribadi, sosial, dan mahluk Allah s.w.t.     
Kembali kepada persoalan pendidikan. Upaya pendidikan hanya dikenal dalam kehidupan manusia yang berlangsung dalam lintas generasi dan konteks kultural. Pendidikan adalah upaya membawa manusia dari kondisi apa adanya (what it is) kepada kondisi bagaimana seharusnya (what should be). Berbicara tentang pendidikan tidak akan pernah terlepas dari dan bahkan akan selalu terpaut dengan pembicaraan tentang mansuia yang sedang berada dalam proses berkembang dengan segala dimensi keunikannya. Terkandung makna di sini bahwa melalui proses pendidikan diharapkan manusia berkembang ke arah bagaimana dia harus menjadi dan berada. Jika pendidikan ini dipandang sebagai suatu upaya untuk membantu manusia menjadi apa yang bisa dia perbuat dan bagaimana dia harus menjadi dan berada, maka pendidikan harus bertolak dari pemahaman tentang hakikat manusia. Pendidik perlu memahami manusia dalam hal aktualitasnya, kemungkinan (possibilities), dan pemikirannya, bahkan memahami perubahan yang dapat diharap­kan terjadi dalam diri manusia.
Upaya pendidikan adalah upaya normatif. Keajegan pandangan tentang hakikat manusia mutlak diperlukan di dalam pendidikan, karena pandangan itu akan menjadi dasar arah normatif strategi upaya pendidikan. Tampak bahwa pembicaraan tentang pendidikan sejalan dengan pembicaraan tentang hakikat manusia. Pemikiran tentang hakikat manusia seperti diungkapkan di muka membawa implikasi imperatif bagi pendidikan untuk tidak terpaku pada ke-kini-an dan ke-disini-an (here and now), walaupun aspek itu diakui cukup penting.
“Pendidikan adalah persoalan tujuan dan fokus.” (Bereiter, 1973: 6). Mendidik anak berarti bertindak secara bertujuan dalam mempengaruhi perkembangan peserta didik sebagai satu kesatuan pribadi. Kegiatan mengajar dan me­latih adalah dua kegiatan yang seiring dilakukan dalam proses pendidikan. Apakah keduanya itu memang merupakan perbuatan mendidik, akan terpulang kepada persoalan tujuan dan fokus yang disebutkan, dan tidak lepas dari hakikat manusia yang diberi pengaruh itu. Apa yang patut dilakukan dan di­berikan pendidik kepada peserta didik merupakan suatu pi­lihan moral dan bukan pilihan teknis belaka. Ini berarti bahwa fokus pendidikan bukan ke-kini-an dan ke-disini-an belaka.
Kembali kepada hakikat manusia yang lahir dengan firahnya dan memiliki kemerdekaan untuk berkembang, maka pendidikan harus dipandang sebagai upaya untuk mengembang­kan kemerdekaan manusia yang memungkinkan manusia “bereksistensi dan berekstensi menuju arah berinsistensi, sebagai titik puncak dari penduniaannya.”. (Driyarkara, 1980: 57).
Pengembangan kemerdekaan manusia melalui pendidikan, tidak lepas dari dialektika kemerdekaan sebagai bagian dari hakikat manusia. Diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara, 1962: 4) bahwa:
Dalam pendidikan harus senantiasa diingat bahwa kemerdekaan itu bersifat tiga macam: berdiri sendiri (zelfstandig), tidak tergantung kepada orang lain (onafhankelijk) dan dapat mengatur dirinya sendiri (vrijheid, zelfsbeschikking). Beratlah kemerdekaan itu! Bukan hanya tidak terperintah saja, akan tetapi harus juga dapat menegakkan dirinya dan mengatur perikehidupannya dengan tertib. Dalam hal ini termasuklah juga mengatur tertibnya perhubungan dengan kemerdeka­an orang lain.
Walaupun pendidikan itu tidak pernah berlangsung dalam kevakuman dan tidak pernah steril dari nilai-nilai sosial budaya, pendidikan bukanlah proses transformasi dan sosialisasi nilai-nilai budaya belaka. Pendidikan adalah proses individuasi, yaitu membantu manusia berkembang sesuai dengan fitrah kemerdekaannya, dengan memperhatikan keragaman pribadi dari setiap terdidik. Di­ungkapkan oleh M.D. Dahlan (1988: 7) bahwa:
 ...kurang tepatlah apabila Ilmu Pendidikan di­ pandang sebagai sosialisasi generasi muda belaka. Alasannya ialah bahwa manusia hendaknya tidak tenggelam dalam masyarakatnya yang menyebabkan ke­hilangan kepribadiannya, melainkan dalam kehidupan bermasyarakatnya, ia tetap mampu mewüjudkan diri sebagai individu yang mandiri.
Kemerdekaan yang dimiliki manusia mengandung makna bahwa manusia itu tidak akan menjadi baik dan benar seca­ra otomatis. Dia harus mencapai kebaikan itu sebagai wujud dari kemerdekaannya. “Kemerdekaan itu adalah esensi kebaikan; jika tidak ada kemerdekaan maka kebaikan yang ada hanyalah kebaikan model malaikat, atau kebaikan alami yang tingkatannya di bawah manusia." (Khalifah Abdul Hamid, 1986: 366). Implikasi yang terkandung dari ungkapan ini ialah bahwa pendidikan mempunyai tugas mengembangkan kemampuan manusia dalam melakukan pilihan yang baik dan benar. Proses memilih (baik dan benar) adalah masalah normatif-etis. Memilih yang baik dan benar bukan semata-mata mem­pertentangkannya dengan buruk dan salah, melainkan memi­lih antara baik dengan baik, benar dengan benar, baik dengan benar. Menurut Sidney Hook ( Harsja W. Bachtiar, 1980) inilah masalah etis yang sesungguhnya.
Demikianlah kehidupan manusia yang penuh dengan serba kemungkinan telah menuntut manusia untuk melakukan pilihan dengan baik dan benar. Proses memilih bukanlah suatu proses mekanistik dan naluriah tetapi suatu proses moralitas yang melibatkan kemampuan nalar secara motekar (kreatif). Kemampuan nalar yang motekar ini dalam arti mampu berbuat lebih baik. " Berbuat kebaikan adalah melestarikan dan menyempurnakan nilai-nilai esensial,.” (K.A. Hamid, 1986: 171). Terkandung makna di sini bahwa pendidikan tidak hanya bertugas melestarikan nilai-nilai kehidupan, tetapi juga menumbuhkan keberanian motekar­(“creative courage”) (Rollo May, 1980) untuk mengembang­kan dan bahkan mungkin mengubah referensi nilai kehidupan ke arah yang lebih baik dan benar, atas dasar “keberanian Imani”. (A. Sanusi, 1984). Soepardjo Adikusumo (1986) menegaskan bahwa pendidikan itu merupakan proses transmisi pengetahuan, pengembangan budaya, terapi budaya, dan se­bagai community.
Pengembangan kemotekaran dalam pendidikan mengan­dung arti bahwa pendidikan tidak hanya mengembangkan ni­lai-nilai instrumental, walaupun itu diakui penting, tetapi juga harus membawa manusia mampu menyebrang dari nilai-nilai instrumental menuju nilai intrinsik. Dalam proses ini akan terjadi penghalusan, asimilasi, dan internalisasi nilai-nilai. Diakui bahwa “... esensi kehidupan ini ialah gerak maju ke depan yang senantiasa mengadakan asimilasi, ... dan untuk melakukan asimilasi itu diperlukan berbagai alat seperti kecerdasan dan keahlian.” ( Moh. Iqbal, 1976: 25) 
Uraian di atas menyuratkan bahwa (Kartadinata, 1988) pendidikan mempunyai fungsi pengembangan yakni membantu individu mengembangkan diri sesuai dengan fitrahnya dan segala keunikannya; fungsi peragaman (diferensiasi) yakni membantu individu memilih arah perkembangan yang tepat se­suai dengan potensinya; dan fungsi integrasi, yakni membawa keragaman perkembangan itu kepada arah dan tujuan yang hakiki sesuai dengan hakikat manusia, untuk menjadi manusia yang utuh atau “manusia kaffah”. Fungsi-fungsi pendidikan sebagaimana disebutkan merupakan satu kesatuan fungsi yang harus terwujud dan diwujudkan secara sadar dalam setiap upaya dan tatanan pendidikan berlandaskan kepada  hakikat manusia dan sesuai dengan sifat kemanusiawian.

No comments:

Post a Comment