Oct 2, 2012

"Ih Kamu kaya Aqua Galau, Tau!": Fakta Linguistik Kekinian


Aqua Galau, Galau, Alay, Anak Lebay
AQUA GALAU
Tiba-tiba saja status di dinding Facebook saya  ada yang merespon. "Heu lg Galau ya Pa?". Yulien Na adalah orang yang memberi komentar seperti itu untuk saya. Sebelumnya, kata-kata serupa juga saya terima melalui BBM dari beberapa orang kawan yang  mengomentari aksi saya dalam bebe Kawan dari jauh itu melihat bahwa secara substansi, kata-kata yang saya tulis merepresentasikan suasana hati saya yang tak riang. Luka karena tersakiti, tersayat, dan tersungkur (yang sebenarnya karena ulah sendiri). Tapi tak apa. Saya senang mendengar ungkapan centil “Ih kamu kaya Aqua Galau tau” yang dikirim Si Neng anak Wakil Walikota Cimahi terpilih itu.
rapa hari terakhir yang sering memperbaharui status di dinding Facebook. Mungkin, bagi mereka, aksi saya itu tidak wajar.
                Bagi saya, ungkapan itu sungguh segar, sesuai dengan jamannya, apalagi jika diungkapkan dengan cara si anak Allay yang kerap nongkrong di Jalan Braga. Sebagai seorang linguist, saya memandang realita itu dalam perspektif yang objektif. Tidak ada yang salah dengan kata yang sering diresahkan oleh Bu Eem, Guru Bahasa Indonesia saya di SMA dulu. Penutur bahasa itu dinamis, berubah dan berusaha mencari bentuk yang segar untuk merepresentasikan konsep dalam benaknya sebagai hasrat berkomunikasi. Galau telah menggeser ketenaran Sesuatu yang lebih dulu populer lewat si centil Syahrini.
                Kata Galau yang sekarang digunakan dalam konteks komunikasi kekinian merujuk pada pengertian yang beraneka. Sangat kontekstual jika kita padankan dengan istilah yang digagas Searle dan Austin. Galau bisa dirujuk dengan  pengertian rungsing, sedih, teu raos manah alias nyeri hate, dan bisa juga diartikan ga mood. Bahkan, orang yang menjadi pendiam pun sering dirujuk dengan bentuk “Lagi Galau”. Menarik bukan? Jika dikaitkan dengan kajian Psikologi, penggunaan /Galau/ dalam seting beraneka menunjukkan juga fenomena kebuntuan berfikir. Tentang kebuntuan berfikir ini nanti  akan saya jelaskan ya Kawans. Lalu apakah fenomena penggunaan kata seperti ini merupakan bentuk murtad terhadap kaidah baku bahasa Indonesia? Jawabanya tentu saja relatif, lagi-lagi konteks yang akan menjadi ukuran untuk menilainya. Sepanjang maksud komunikasi bisa dipahami oleh mitra tutur kita, tidak ada yang salah dan juga tidak ada masalah dengan kata itu. Di samping itu sepanjang sesuai dengan seting komunikasi yang dihadapinya, penggunaan kata itu bukanlah tindakan kurang ajar. Pokoknya Galau, sesuatu deh.   
                 

No comments:

Post a Comment