AQUA GALAU |
rapa hari terakhir yang sering memperbaharui status di dinding Facebook. Mungkin, bagi mereka, aksi saya itu tidak wajar.
Bagi
saya, ungkapan itu sungguh segar, sesuai dengan jamannya, apalagi jika diungkapkan
dengan cara si anak Allay yang kerap nongkrong di Jalan Braga. Sebagai seorang linguist, saya memandang realita itu
dalam perspektif yang objektif. Tidak ada yang salah dengan kata yang sering
diresahkan oleh Bu Eem, Guru Bahasa Indonesia saya di SMA dulu. Penutur bahasa
itu dinamis, berubah dan berusaha mencari bentuk yang segar untuk merepresentasikan
konsep dalam benaknya sebagai hasrat berkomunikasi. Galau telah menggeser
ketenaran Sesuatu yang lebih dulu populer lewat si centil Syahrini.
Kata
Galau yang sekarang digunakan dalam konteks komunikasi kekinian merujuk pada
pengertian yang beraneka. Sangat kontekstual jika kita padankan dengan istilah
yang digagas Searle dan Austin. Galau bisa dirujuk dengan pengertian rungsing, sedih, teu raos
manah alias nyeri hate, dan bisa juga diartikan ga mood. Bahkan, orang yang menjadi
pendiam pun sering dirujuk dengan bentuk “Lagi Galau”. Menarik bukan? Jika
dikaitkan dengan kajian Psikologi, penggunaan /Galau/ dalam seting beraneka
menunjukkan juga fenomena kebuntuan berfikir. Tentang kebuntuan berfikir ini
nanti akan saya jelaskan ya Kawans. Lalu
apakah fenomena penggunaan kata seperti ini merupakan bentuk murtad terhadap
kaidah baku bahasa Indonesia? Jawabanya tentu saja relatif, lagi-lagi konteks
yang akan menjadi ukuran untuk menilainya. Sepanjang maksud komunikasi bisa
dipahami oleh mitra tutur kita, tidak ada yang salah dan juga tidak ada masalah
dengan kata itu. Di samping itu sepanjang sesuai dengan seting komunikasi yang
dihadapinya, penggunaan kata itu bukanlah tindakan kurang ajar. Pokoknya Galau,
sesuatu deh.
No comments:
Post a Comment