Kampanye Hitam |
Pertarungan pasangan Prabowo-Hatta (nomor urut 1) dan
Jokowi-Jusuf Kalla (nomor urut 2) merupakan pertarungan ideal yang diprediksi
akan berlangsung ketat. Sekalipun secara matematis
pasangan Prabowo-Hatta mampu mengumpulkan dukungan 292 kursi di DPR (48,93%) dan
mengungguli jumlah dukungan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla yang mendapatkan 207
kursi DPR (39,79%), namun keunggulan itu bukan merupakan faktor determinan yang
mutlak menjamin pasangan Prabowo-Hatta dapat memenangi Pilpres 2014. Bahkan, keunggulan
dukungan jumlah kursi di DPR bisa jadi tidak akan menjadi modal penting bagi
pasangan Prabowo-Hatta untuk mendulang suara. Selain itu, komposisi
kedua pasangan kandidat Pipres 2014 ini dinilai telah mewakili isu-isu mainstream politik di Indonesia, yaitu
isu mengenai keterwakilan sipil/militer, jawa/luar jawa,
dan nasionalis/islam. Jika identitas politik semacam ini dipandang sebagai
variabel yang merepresentasikan kekuatan keduanya, maka, secara relatif, kedua
kubu yang bersaing itu memiliki kekuatan yang sangat berimbang.
Realita mengenai Pilpres 2014 yang akan berlangsung dalam
satu putaran ditambah adanya fakta yang menggambarkan masing-masing kandidat
memiliki kekuatan yang relatif berimbang, semakin memanaskan jalan persaingan
menuju puncak kekuasaan. Tim sukses masing-masing kandidat bertarung dengan menerapkan
strategi kampanye untuk mendulang suara pemilih. Sebagai sebuah instrumen,
kampanye telah disediakan oleh aparatur penyelenggara pemilu kepada para
kandidat dengan tata cara dan ketentuan yang telah diatur secara normatif
melalui peratuaran perundangan. Secara garis besar, ketentuan hukum itu melarang
dan mengharamkan segala bentuk kampanye yang bersifat menyerang dan menjatuhkan
kontestan pesaing dengan isu yang berbau SARA. Bentuk kampanye seperti itulah
yang sering disebut sebagai Kampanye Hitam. Pada kenyataannya, sekalipun
dilarang dan tidak diperbolehkan, menjelang pemilu seperti saat ini kita malah banyak
disuguhi oleh berbagai modus praktik kampanye hitam, terutama yang disajikan melalui
sosial media. Terkait dengan hal ini, Anggota Badan Pengawas Pemilu, Nelson Simanjuntak,
mengatakan bahwa kampanye hitam melalui sosial media dalam Pilpres saat ini sangat
parah dan terjadi dalam skala yang belum pernah ada sebelumnya.
Daya Paksa Kampanye
Karakteristik pemilih merupakan variabel penting yang kerap
diperhatikan tim sukses kandidat ketika akan menerapkan strategi kampanye. Profil
pemilih di Indonesia, secara dominan, sering digambarkan sebagai kmelompok yang
cenderung mempertimbangkan alasan-alasan subjektif dan mengedepankan
aspek-aspek emosional dalam menjatuhkan pilihan.
Sejauh ini, kedua kontesan dinilai memiliki peluang yang
sama besar untuk memenangi Pilpres 2014. Celakanya, tim sukses masing-masing
kandidat seolah meyakini bahwa yang akan memenangi Pilpres adalah mereka yang
mampu memanfaatkan momentum untuk memenuhi selera subjektif para pemilih. Berangkat
dari pemahaman itu, dalam rangka memenuhi selera subjektif para pemilih, maka kampanye
hitam dianggap sebagai hal lumrah untuk dilakukan. Kampanye hitam
diorientasikan untuk membangun sikap sentimen dan apriori pemilh terhadap
pesaing kandidat. Di Amerika Serikat (AS),
kampanye hitam pun dilakukan untuk membangun sentimen dan antipati terhadap Barrack
Obamma yang maju sebagai capres dari Partai Republik. Obamma mendapat serangan
Donald Trump yang menuduhnya telah bercerai dengan sang istri, Michelle. Di
samping itu, Obamma pun dituduh sebagai orang asing yang tidak dilahirkan di
AS, melainkan di Kenya. Karena itu, Obamma tidak berhak mencalonkan diri
sebagai Presiden AS.
Praktik
kampanye hitam yang berseliweran menjelang pemilu memang cukup memuakkan. Kita menyadari bahwa kampanye hitam memberikan dampak
negatif secara strategis bagi konsolidasi demokrasi yang tengah kita lakukan.
Namun, di sisi yang lain, kita seolah tidak bisa melakukan apa-apa, selain
mengutuk para pelaku kampanye hitam. Jika kita telusuri, maraknya kampanye
hitam juga karena dipicu oleh lemahnya Undang-Undang (Pemilu) yang tidak serta-merta dapat menjerat para
pelaku kampanye hitam, padahal sesungguhnya para pelaku itu bisa dipidanakan.
Dalam terminologi ilmu bahasa, kampanye hitam merupakan wujud
dari aktivitas berbahasa yang pada hakikatnya berdimensi tindakan tertentu. Artinya,
ketika seseorang berbahasa sesungguhnya dia tengah melakukan suatu tindakan.
Ketika ada orang yang mengatakan “Jangan
memilih si X, karena dia wanita!”, maka sekaligus orang itu sudah melakukan
suatu tindakan, yaitu melarang dan memengaruhi mitra tuturnya untuk tidak
memilih si X. Setiap tindak berbahasa
pasti memiliki daya paksa (rank of
imposition) untuk dituruti dan disetujui oleh mitra tuturnya. Namun, besar
kecilnya daya paksa sebuah tuturan sangat relatif untuk dituruti atau diikuti
oleh mitra tutur. Atas dasar itu, sebetulnya, perilaku pemilih tidak bisa
diubah hanya dengan model kampanye politik, apalagi yang berbentuk fitnah dan isu
negatif. Dalam konteks publik yang tergolong subjektif, pilihan politik lebih sering
diputuskan dengan hal-hal yang bersifat emosional. Karena sifatnya yang emosional
itulah, perilaku pemilih jauh lebih keras kepala. Mereka tidak mudah digoyang
dengan kampanye hitam. Bahkan, sesungguhnya, kampanye hitam lebih berpotensi mengganggu
proses pendidikan politik warga negara.
Karena dengan kampanye hitam, pemilih tidak diajak untuk menggunakan nalar dalam
menimbang dan menentukan sang pemimpin pilihan.
*Penulis, Dosen Universitas
Pendidikan Indonesia. Saksi Ahli Bahasa untuk Kepolisian Negara Republik
Indonesia. (Tulisan dimuat di Pikiran Rakyat)
No comments:
Post a Comment