Jun 10, 2015

Daya Paksa Kampanye Hitam

BLACK CAMPAIGN, PEMILU, PILKADA, negatif campaign
Kampanye Hitam
Pemilihan presiden (Pilpres) di Indonesia untuk kali ini akan dipastikan berlangsung dalam satu putaran. Layaknya kontestasi Pilpres yang berlangsung di negara demokrasi modern, Pilpres 2014 di Indonesia pun menyuguhkan pertarungan hidup mati bagi dua pasangan konstestan yang tengah bersaing memperebutkan kursi kekuasaan. Tidak seperti dalam gelaran Pilpres 2009 yang cenderung mudah ditebak siapa kontestan yang akan keluar sebagai pemenangnya, pada Pilpres kali ini para pengamat sangat kesulitan untuk menebak kandidat mana yang akan tampil sebagai pinunjul.
            Pertarungan pasangan Prabowo-Hatta (nomor urut 1) dan Jokowi-Jusuf Kalla (nomor urut 2) merupakan pertarungan ideal yang diprediksi akan berlangsung ketat. Sekalipun secara matematis pasangan Prabowo-Hatta mampu mengumpulkan dukungan 292 kursi di DPR (48,93%) dan mengungguli jumlah dukungan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla yang mendapatkan 207 kursi DPR (39,79%), namun keunggulan itu bukan merupakan faktor determinan yang mutlak menjamin pasangan Prabowo-Hatta dapat memenangi Pilpres 2014. Bahkan, keunggulan dukungan jumlah kursi di DPR bisa jadi tidak akan menjadi modal penting bagi pasangan Prabowo-Hatta untuk mendulang suara. Selain itu, komposisi kedua pasangan kandidat Pipres 2014 ini dinilai telah mewakili isu-isu mainstream politik di Indonesia, yaitu isu mengenai keterwakilan sipil/militer, jawa/luar jawa, dan nasionalis/islam. Jika identitas politik semacam ini dipandang sebagai variabel yang merepresentasikan kekuatan keduanya, maka, secara relatif, kedua kubu yang bersaing itu memiliki kekuatan yang sangat berimbang.
Realita mengenai Pilpres 2014 yang akan berlangsung dalam satu putaran ditambah adanya fakta yang menggambarkan masing-masing kandidat memiliki kekuatan yang relatif berimbang, semakin memanaskan jalan persaingan menuju puncak kekuasaan. Tim sukses masing-masing kandidat bertarung dengan menerapkan strategi kampanye untuk mendulang suara pemilih. Sebagai sebuah instrumen, kampanye telah disediakan oleh aparatur penyelenggara pemilu kepada para kandidat dengan tata cara dan ketentuan yang telah diatur secara normatif melalui peratuaran perundangan. Secara garis besar, ketentuan hukum itu melarang dan mengharamkan segala bentuk kampanye yang bersifat menyerang dan menjatuhkan kontestan pesaing dengan isu yang berbau SARA. Bentuk kampanye seperti itulah yang sering disebut sebagai Kampanye Hitam. Pada kenyataannya, sekalipun dilarang dan tidak diperbolehkan, menjelang pemilu seperti saat ini kita malah banyak disuguhi oleh berbagai modus praktik kampanye hitam, terutama yang disajikan melalui sosial media. Terkait dengan hal ini, Anggota Badan Pengawas Pemilu, Nelson Simanjuntak, mengatakan bahwa kampanye hitam melalui sosial media dalam Pilpres saat ini sangat parah dan terjadi dalam skala yang belum pernah ada sebelumnya.
    
Daya Paksa Kampanye
Karakteristik pemilih merupakan variabel penting yang kerap diperhatikan tim sukses kandidat ketika akan menerapkan strategi kampanye. Profil pemilih di Indonesia, secara dominan, sering digambarkan sebagai kmelompok yang cenderung mempertimbangkan alasan-alasan subjektif dan mengedepankan aspek-aspek emosional dalam menjatuhkan pilihan.  
Sejauh ini, kedua kontesan dinilai memiliki peluang yang sama besar untuk memenangi Pilpres 2014. Celakanya, tim sukses masing-masing kandidat seolah meyakini bahwa yang akan memenangi Pilpres adalah mereka yang mampu memanfaatkan momentum untuk memenuhi selera subjektif para pemilih. Berangkat dari pemahaman itu, dalam rangka memenuhi selera subjektif para pemilih, maka kampanye hitam dianggap sebagai hal lumrah untuk dilakukan. Kampanye hitam diorientasikan untuk membangun sikap sentimen dan apriori pemilh terhadap pesaing kandidat.  Di Amerika Serikat (AS), kampanye hitam pun dilakukan untuk membangun sentimen dan antipati terhadap Barrack Obamma yang maju sebagai capres dari Partai Republik. Obamma mendapat serangan Donald Trump yang menuduhnya telah bercerai dengan sang istri, Michelle. Di samping itu, Obamma pun dituduh sebagai orang asing yang tidak dilahirkan di AS, melainkan di Kenya. Karena itu, Obamma tidak berhak mencalonkan diri sebagai Presiden AS.
            Praktik kampanye hitam yang berseliweran menjelang pemilu memang cukup memuakkan. Kita menyadari bahwa kampanye hitam memberikan dampak negatif secara strategis bagi konsolidasi demokrasi yang tengah kita lakukan. Namun, di sisi yang lain, kita seolah tidak bisa melakukan apa-apa, selain mengutuk para pelaku kampanye hitam. Jika kita telusuri, maraknya kampanye hitam juga karena dipicu oleh lemahnya Undang-Undang (Pemilu) yang tidak serta-merta dapat menjerat para pelaku kampanye hitam, padahal sesungguhnya para pelaku itu bisa dipidanakan.   
Dalam terminologi ilmu bahasa, kampanye hitam merupakan wujud dari aktivitas berbahasa yang pada hakikatnya berdimensi tindakan tertentu. Artinya, ketika seseorang berbahasa sesungguhnya dia tengah melakukan suatu tindakan. Ketika ada orang yang mengatakan “Jangan memilih si X, karena dia wanita!”, maka sekaligus orang itu sudah melakukan suatu tindakan, yaitu melarang dan memengaruhi mitra tuturnya untuk tidak memilih si X. Setiap tindak berbahasa pasti memiliki daya paksa (rank of imposition) untuk dituruti dan disetujui oleh mitra tuturnya. Namun, besar kecilnya daya paksa sebuah tuturan sangat relatif untuk dituruti atau diikuti oleh mitra tutur. Atas dasar itu, sebetulnya, perilaku pemilih tidak bisa diubah hanya dengan model kampanye politik, apalagi yang berbentuk fitnah dan isu negatif. Dalam konteks publik yang tergolong subjektif, pilihan politik lebih sering diputuskan dengan hal-hal yang bersifat emosional. Karena sifatnya yang emosional itulah, perilaku pemilih jauh lebih keras kepala. Mereka tidak mudah digoyang dengan kampanye hitam. Bahkan, sesungguhnya, kampanye hitam lebih berpotensi mengganggu proses pendidikan politik warga negara. Karena dengan kampanye hitam, pemilih tidak diajak untuk menggunakan nalar dalam menimbang dan menentukan sang pemimpin pilihan.

*Penulis, Dosen Universitas Pendidikan Indonesia. Saksi Ahli Bahasa untuk Kepolisian Negara Republik Indonesia.  (Tulisan dimuat di Pikiran Rakyat)
                       


No comments:

Post a Comment