Jun 11, 2015

Di Balik Vonis Bebas Para Terdakwa

Vonis, Terdakwa, Vonis Pengadilan
Vonis Pengadilan
Putusan bebas Pengadilan Tinggi (PT) Bandung yang diberikan kepada lima terdakwa kasus pemerkosaan terhadap TK (9) diprotes keras keluarga korban. Hakim tunggal yang memutus perkara banding ini, Jurnalis Armad, tak peduli. Ia yakin dengan penilaiannya terhadap bukti yang disampaikan di pengadilan, yang menurutnya tidak menunjukkan adanya keterkaitan dengan kelima bocah itu sebagai pemerkosa. Di balik putusan itu tersiar kabar tak sedap mengenai penanganan proses hukum yang dialami para terdakwa. Sejumlah saksi mengatakan, sebelum dibawa ke kantor polisi, kelima terdakwa dipukuli seorang Babinsa. Mereka dianiaya agar mengaku telah memperkosa korban TK (9). Atas kejadian itu, kepolisian dianggap telah diintervensi untuk menangani suatu perkara pidana. Sementara itu, putusan bebas di tingkat banding terjadi pula di PT Jakarta. Hakim Ketua Gatot Suparmono, yang mengadili dua orang terdakwa pelaku pembunuhan seorang pengamen di Cipulir, Jakarta Selatan, memvonis bebas kedua terdakwa. Majelis sepakat untuk menyatakan bahwa bukti yang disampaikan di persidangan tidak cukup kuat menunjukkan keterlibatan kedua terdakwa yang sebelumnya telah divonis hukuman 7 tahun penjara oleh PN Jakarta Selatan. 
            Di balik putusan bebas bagi para terdakwa itu, institusi kepolisian dipandang masyarakat sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. Korps baju cokelat itu dianggap memiliki andil besar atas bebasnya para terdakwa. Penyidik pun dinilai gagal dalam mengumpulkan barang bukti yang dapat menunjukkan terjadinya perbuatan pidana para terdakwa. Di samping itu, indikasi adanya rekayasa dalam penanganan kedua kasus pidana itu ditegaskan salah seorang Komisioner Kompolnas, Hamidah Abdurachman, sebagai fenomena yang jelas terlihat. Bukan sekali ini saja anggapan adanya rekayasa kasus di kepolisian mencuat. Sebelum vonis bebas di tingkat banding bagi dua remaja di Jakarta dan lima bocah di Cianjur, dugaan rekayasa muncul dengan bebasnya beberapa terdakwa kasus narkotika yang diusut kepolisian. Tuduhan rekayasa terhadap penyidik menarik untuk diperhatikan di tengah tingginya harapan masyarakat atas kinerja penyidik kepolisian.

Tugas dan Tanggung Jawab Penyidik
Dalam menangani perkara pidana, penyidik memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat kompleks. Sebagai alat negara yang berwenang untuk mengawali tindakan hukum melalui proses penyidikan, penyidik memiliki tugas untuk menentukan apakah suatu perbuatan memenuhi unsur pokok perbuatan pidana atau tidak? Jika memenuhi unsur pokok perbuatan pidana, penyidik kemudian melimpahkan berkas penyidikan perkara pidana kepada Jaksa. Setelah berkas dinyatakan lengkap (P21), Jaksa akan menyusun surat dakwaan sebagai dasar penuntutan yang diajukan di persidangan. Sebaliknya, jika perbuatan yang disidik tidak cukup keterangan untuk dikategorikan sebagai perbuatan yang mendekati atau memenuhi unusur pokok pidana, maka proses penyidikan itu wajib dihentikan.
Proses yang ditempuh penyidik untuk melengkapi berkas penyidikan perkara pidana bukanlah urusan sederhana. Banyak sekali tindakan yang harus dilakukan penyidik dalam rangka melengkapi berkas perkara itu. Selain harus memperhatikan aspek materil (hukum pidana), penyidik juga harus memperhatikan aspek formil (hukum acara pidana) penyidikan perkara. Pelanggaran terhadap pemenuhan aspek materil dan formil dapat mengakibatkan legitimasi proses hukum terancam, sehingga dapat berakibat dibatalkannya proses hukum yang dilakukan penyidik.
Kompleksitas tugas dan tanggung jawab penyidik menuntut Polri untuk dapat menyediakan sumber daya penyidik yang handal. Selain harus memiliki kecerdasan yang tinggi, seorang penyidik juga harus memiliki tingkat ketelitian dan kehati-hatian yang mumpuni. Hal ini tentu saja bukan persoalan yang mudah untuk dipenuhi. Di tengah minimnya jumlah anggota kepolisian, ditambah dengan meningkatnya jumlah perkara pidana yang harus segera ditangani, kondisi ideal keberadaan penyidik sulit untuk dipenuhi. Polri sampai saat ini masih dihadapkan pada dua persoalan serius terkait keberadaan penyidik. Pertama, persoalan mengenai ketersediaan jumlah penyidik yang disiapkan untuk menangani perkara pidana. Kedua, persoalan mengenai kualitas penyidik yang dibutuhkan untuk menangani beragamnya modus tindak pidana yang semakin bervariatif. Dua persoalan itu sangat berpotensi menjadi faktor yang menentukan kualitas penyidikan perkara pidana.
Minimnya jumlah penyidik tidak dapat dijadikan pembenaran untuk menutupi tuduhan mengenai adanya kekurangan dan kesalahan proses penyidikan perkara pidana yang dilakukan penyidik. Persoalan kualitas penyidik yang masih perlu ditingkatkan juga tidak dapat dijadikan alasan bagi Polri ketika mengalami kesulitan mengungkap perbuatan pidana. Di tengah persoalan yang dihadapinya, Polri tidak memiliki pilihan selain menjalankan fungsi sebagai lembaga penegak hukum secara maksimal. Secara institusional, sebenarnya, Polri telah berupaya mengatasi berbagai persoalan yang berpotensi menghambat jalannya roda organisasi. Penelitian Aziz, dkk. (2013) menyebutkan bahwa sejauh ini Polri telah merefleksikan kesadaran institusional terkait pentingnya fungsi penyidikan melalui pemberlakuan mekanisme baku pelaksanaan penyidikan perkara pidana, di antaranya dengan diberlakukannya Peraturan Kapolri No. 14/2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Di samping itu, penguatan fungsi dan kapasitas lembaga pengawas internal di tubuh Polri, termasuk di dalamnya pengawasan terhadap kinerja penyidik, menggambarkan juga keseriusan Polri untuk menjalankan proses hukum secara transparan dan akuntabel. Terkait dengan isu peningkatan kualitas penyidik, Polri secara terencana telah melakukan serangkaian aktivitas  peningkatan kompetensi penyidik melalui proses pendidikan, pelatihan, dan bimbingan kolegalial dalam lingkup internal. Untuk menajamkan fungsi penyidikan, Polri secara bertahap telah meningkatkan kualifikasi para penyidik. Dengan upaya tersebut, Polri berharap agar persoalan sulit yang muncul dalam proses penyidikan dapat diatasi dengan baik.

Rekayasa Penyidik
Terkait dengan pelaksanaan proses penyidikan, munculnya beberapa kekurangan dan kesalahan yang dilakukan penyidik ketika melakukan fungsi penyidikan, diakui atau tidak, memang masih terjadi. Hal tersebut telah terbukti menghambat kelancaran persidangan berbagai perkara pidana yang diadili di pengadilan. Temuan ini mengindikasikan makna bahwa Polri harus terus melakukan pengawasan terhadap kinerja penyidik secara terstruktur dan simultan. Namun demikian, kesalahan dan kekurangan penyidik dalam melakukan fungsi penyidikan tidak serta merta dapat dipandang sebagai sebuah rekayasa. Tuduhan rekayasa terhadap penyidik merupakan isu besar yang sangat mencederai harkat institusi kepolisian. Rekayasa bermakna tindakan sadar yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan kekurangan dan kesalahan proses penyidikan belum tentu dilakukan dengan sengaja dan secara sadar. Penyidik sebagai alat kelengkapan negara harus steeril dari tindakan-tindakan yang dapat menghambat pencapaian tujuan institusional. Rekayasa dalam proses penyidikan adalah musuh terbesar penegakan hukum. Karena itu, peningkatan pengawasan oleh berbagai pihak terhadap kinerja penyidik harus terus dilakukan demi mencegah munculnya tindakan menyimpang para penyidik.
Isu mengenai adanya rekayasa penyidikan di balik vonis bebas bagi para terdakwa, bisa jadi dapat terbukti benar. Beberapa kasus yang terindikasi sebagai hasil rekayasa penyidik, harus ditangani secara transparan dan tuntas. Para oknum penyidik yang terbukti melakukan perbuatan keji itu, wajib menerima hukuman berat dan tegas. Para oknum pelaku tidak cukup menerima hukuman pelanggaran disiplin. Peluang penyimpangan penyidik untuk melakukan rekayasa penyidikan harus terus dipersempit, bahkan dihilangkan, melalui penerapan aturan dan pengawasan internal yang konsisten.
Dugaan adanya rekayasa di balik vonis bebas bagi para terdakwa telah mencoreng citra kepolisian sebagai institusi penegak keadilan di negeri ini. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas institusi kepolisian tentunya berbanding lurus dengan perilaku yang ditunjukkan oleh seluruh Anggota Polri. Karena itu, masyarakat sangat berharap agar Polri terus berkiprah meningkatkan profesionalisme kinerja. Adanya tindakan menyimpang yang mungkin terjadi di masa lalu, tidak perlu dijadikan penghalang yang dapat melemahkan kepercayaan terhadap institusi kepolisian. Sebab, memilih untuk tidak memercayai institusi kepolisian sebagai lembaga penegak hukum juga bukan merupakan pilihan yang cerdas.***



No comments:

Post a Comment