Vonis Pengadilan |
Di balik putusan bebas bagi para
terdakwa itu, institusi kepolisian dipandang masyarakat sebagai pihak yang
harus bertanggung jawab. Korps baju cokelat itu dianggap memiliki andil besar
atas bebasnya para terdakwa. Penyidik pun dinilai gagal dalam mengumpulkan barang
bukti yang dapat menunjukkan terjadinya perbuatan pidana para terdakwa. Di
samping itu, indikasi adanya rekayasa dalam penanganan kedua kasus pidana itu ditegaskan
salah seorang Komisioner Kompolnas, Hamidah Abdurachman, sebagai
fenomena yang jelas terlihat. Bukan sekali ini saja
anggapan adanya rekayasa kasus di kepolisian mencuat. Sebelum vonis bebas di
tingkat banding bagi dua remaja di Jakarta dan lima bocah di Cianjur, dugaan
rekayasa muncul dengan bebasnya beberapa terdakwa kasus narkotika yang diusut
kepolisian. Tuduhan rekayasa terhadap penyidik menarik untuk diperhatikan di
tengah tingginya harapan masyarakat atas kinerja penyidik kepolisian.
Tugas dan Tanggung Jawab
Penyidik
Dalam
menangani perkara pidana, penyidik memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat
kompleks. Sebagai alat negara yang berwenang untuk mengawali tindakan hukum
melalui proses penyidikan, penyidik memiliki tugas untuk menentukan apakah suatu
perbuatan memenuhi unsur pokok perbuatan pidana atau tidak? Jika memenuhi unsur
pokok perbuatan pidana, penyidik kemudian melimpahkan berkas penyidikan perkara
pidana kepada Jaksa. Setelah berkas dinyatakan lengkap (P21), Jaksa akan
menyusun surat dakwaan sebagai dasar penuntutan yang diajukan di persidangan. Sebaliknya,
jika perbuatan yang disidik tidak cukup keterangan untuk dikategorikan sebagai
perbuatan yang mendekati atau memenuhi unusur pokok pidana, maka proses
penyidikan itu wajib dihentikan.
Proses yang ditempuh penyidik untuk melengkapi berkas penyidikan perkara
pidana bukanlah urusan sederhana. Banyak sekali tindakan yang harus dilakukan
penyidik dalam rangka melengkapi berkas perkara itu. Selain harus memperhatikan
aspek materil (hukum pidana), penyidik juga harus memperhatikan aspek formil (hukum
acara pidana) penyidikan perkara. Pelanggaran terhadap pemenuhan aspek materil
dan formil dapat mengakibatkan legitimasi proses hukum terancam, sehingga dapat
berakibat dibatalkannya proses hukum yang dilakukan penyidik.
Kompleksitas tugas dan tanggung jawab penyidik menuntut Polri untuk dapat
menyediakan sumber daya penyidik yang handal. Selain harus memiliki kecerdasan
yang tinggi, seorang penyidik juga harus memiliki tingkat ketelitian dan
kehati-hatian yang mumpuni. Hal ini tentu saja bukan persoalan yang mudah untuk
dipenuhi. Di tengah minimnya jumlah anggota kepolisian, ditambah dengan meningkatnya
jumlah perkara pidana yang harus segera ditangani, kondisi ideal keberadaan penyidik
sulit untuk dipenuhi. Polri sampai saat ini masih dihadapkan pada dua persoalan
serius terkait keberadaan penyidik. Pertama,
persoalan mengenai ketersediaan jumlah penyidik yang disiapkan untuk menangani
perkara pidana. Kedua, persoalan mengenai
kualitas penyidik yang dibutuhkan untuk menangani beragamnya modus tindak pidana
yang semakin bervariatif. Dua persoalan itu sangat berpotensi menjadi faktor
yang menentukan kualitas penyidikan perkara pidana.
Minimnya jumlah penyidik tidak dapat dijadikan pembenaran untuk menutupi
tuduhan mengenai adanya kekurangan dan kesalahan proses penyidikan perkara
pidana yang dilakukan penyidik. Persoalan kualitas penyidik yang masih perlu
ditingkatkan juga tidak dapat dijadikan alasan bagi Polri ketika mengalami kesulitan
mengungkap perbuatan pidana. Di tengah persoalan yang dihadapinya, Polri tidak
memiliki pilihan selain menjalankan fungsi sebagai lembaga penegak hukum secara
maksimal. Secara institusional, sebenarnya, Polri telah berupaya mengatasi
berbagai persoalan yang berpotensi menghambat jalannya roda organisasi.
Penelitian Aziz, dkk. (2013) menyebutkan bahwa sejauh ini Polri telah
merefleksikan kesadaran institusional terkait pentingnya fungsi penyidikan
melalui pemberlakuan mekanisme baku pelaksanaan penyidikan perkara pidana, di
antaranya dengan diberlakukannya Peraturan Kapolri No. 14/2012 Tentang
Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Di samping itu, penguatan fungsi dan
kapasitas lembaga pengawas internal di tubuh Polri, termasuk di dalamnya
pengawasan terhadap kinerja penyidik, menggambarkan juga keseriusan Polri untuk
menjalankan proses hukum secara transparan dan akuntabel. Terkait dengan isu peningkatan
kualitas penyidik, Polri secara terencana telah melakukan serangkaian aktivitas
peningkatan kompetensi penyidik melalui
proses pendidikan, pelatihan, dan bimbingan kolegalial dalam lingkup internal. Untuk
menajamkan fungsi penyidikan, Polri secara bertahap telah meningkatkan
kualifikasi para penyidik. Dengan upaya tersebut, Polri berharap agar persoalan
sulit yang muncul dalam proses penyidikan dapat diatasi dengan baik.
Rekayasa Penyidik
Terkait
dengan pelaksanaan proses penyidikan, munculnya beberapa kekurangan dan
kesalahan yang dilakukan penyidik ketika melakukan fungsi penyidikan, diakui
atau tidak, memang masih terjadi. Hal tersebut telah terbukti menghambat
kelancaran persidangan berbagai perkara pidana yang diadili di pengadilan. Temuan
ini mengindikasikan makna bahwa Polri harus terus melakukan pengawasan terhadap
kinerja penyidik secara terstruktur dan simultan. Namun demikian, kesalahan dan
kekurangan penyidik dalam melakukan fungsi penyidikan tidak serta merta dapat
dipandang sebagai sebuah rekayasa. Tuduhan rekayasa terhadap penyidik merupakan
isu besar yang sangat mencederai harkat institusi kepolisian. Rekayasa bermakna
tindakan sadar yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan kekurangan dan
kesalahan proses penyidikan belum tentu dilakukan dengan sengaja dan secara
sadar. Penyidik sebagai alat kelengkapan negara harus steeril dari tindakan-tindakan yang dapat menghambat pencapaian
tujuan institusional. Rekayasa dalam proses penyidikan adalah musuh terbesar
penegakan hukum. Karena itu, peningkatan pengawasan oleh berbagai pihak
terhadap kinerja penyidik harus terus dilakukan demi mencegah munculnya tindakan
menyimpang para penyidik.
Isu mengenai adanya rekayasa penyidikan di balik vonis bebas bagi para
terdakwa, bisa jadi dapat terbukti benar. Beberapa kasus yang terindikasi
sebagai hasil rekayasa penyidik, harus ditangani secara transparan dan tuntas. Para
oknum penyidik yang terbukti melakukan perbuatan keji itu, wajib menerima hukuman
berat dan tegas. Para oknum pelaku tidak cukup menerima hukuman pelanggaran disiplin.
Peluang penyimpangan penyidik untuk melakukan rekayasa penyidikan harus terus
dipersempit, bahkan dihilangkan, melalui penerapan aturan dan pengawasan
internal yang konsisten.
Dugaan adanya rekayasa di balik vonis bebas bagi para terdakwa telah
mencoreng citra kepolisian sebagai institusi penegak keadilan di negeri ini. Tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas institusi kepolisian tentunya berbanding
lurus dengan perilaku yang ditunjukkan oleh seluruh Anggota Polri. Karena itu, masyarakat
sangat berharap agar Polri terus berkiprah meningkatkan profesionalisme kinerja.
Adanya tindakan menyimpang yang mungkin terjadi di masa lalu, tidak perlu dijadikan
penghalang yang dapat melemahkan kepercayaan terhadap institusi kepolisian.
Sebab, memilih untuk tidak memercayai institusi kepolisian sebagai lembaga penegak
hukum juga bukan merupakan pilihan yang cerdas.***
No comments:
Post a Comment