I
KAMU
Kecantikanmu
sama dengan Drupadi yang terkenal kemana-mana, pun demikian dengan hasrat untuk
bercabang, mirip dengan perilaku anak Prabu Drupada yang berpoligami dengan Lima
(wayang) Pandawa. Tapi kamu memang bukan Drupadi yang dijadikan hadiah
sayembara oleh ayahnya. Kamu, menurutmu, adalah wanita yang merasakan ketiadaan
dalam hadirnya orang tua (absent in presentia). Cerita panjang telah kamu
kisahkan padaku, di saat malam-malam panjang kebersamaan kita.
Drupadi |
***
II
AKU
Sementara Aku
adalah laki-laki yang dibesarkan di jalan dengan logika perang. Kehidupan,
bagiku, adalah rincian episode peperangan yang harus dihadapi. Dalam perspektif
perang, setiap orang ditakdirkan untuk melawan dan mencuri kemenangan, apapun
caranya. Dalam kondisi apapun, terkadang, peperangan tak bisa dihindarkan. Karenanya
Aku dipaksa untuk selalu siap dan waspada. Itu harus sayang, harus, demi
eksistensi dan harga sebuah kehidupan. Melawan adalah semangat yang harus
dikembangkan dalam jiwaku sebab jika aku duduk diam seperti yang kamu pilih itu
sama dengan ketertindasan. Aku tak mau itu, sangat tidak mau. Apalagi mundur, aku
tidak mungkin memilihnya, bagiku, mundur adalah pengkhianatan terhadap cinta
kasih orang tua yang berpayah-payah melahirkanku dan menitipkan segaris doa
harapan di dalam namaku. Pikirku aku harus menjadi kebangaan! Dan, aku
terbentuk dengan bakat perang yang penuh dengan intrik. Tiba saatnya ketika
Tuhan dengan jari-jari manis-Nya yang halus itu memapahku masuk ke gerbang kampus.
Di tempat itu, aku pun ternyata tetap harus berperang. Perang melawan rasa
lapar, perang melawan ketidakpunyaan, juga perang melawan ketidaktahuan.
Semangat melawan mucul. Aku berstrategi untuk keluar menjadi pemenang. Dan
lagi, kasih sayang Tuhan itu agung.
Tuhan mengabulkan doa-doa Ibuku yang mengiringi peperanganku di kampus. Setiap
malam, namauku disebut dalam doanya di atas sajadah yang basah karena air mata
ibanya ada Tuhan (robigfirli wali-wali daya
warhamhuma kamma robbayani sugiroh—semoga dia yang ada di sana menddapat
ampunanMu, Tuhan). Dengan doa itu, aku menang dari rasa lapar karena buktinya
aku tidak mati kelaparan. Aku menang juga melawan ketidakpunyaan karena
buktinya aku tidak pernah merasa rendah diri sebagai si miskin. Dan, ini yang
penting, Aku keluar jadi pemenang melawan ketidaktahuan. Bersyukur, kata orang aku
tampil menjadi orang yang berpengetahuan –walaupun tidak seistimewa pengetahuan
Austin dan Searle, dua ilmuwan yang selau aku idolakan. Kisah ketika aku harus hidup
berdua banyak dipicu keajaiban, dan kamu juga pada akhirnya tahu dan bahkan
sepakat untuk mengatakan bahwa aku didampingi oleh malaikat mulia yang menjelma
dalam sosok seorang istrti. Dalam insyafku, Tuhan sangat sayang padaku, sangat!
Pilihan rasional saat itu untuk mau padanya di tengah lukaku pada seorang
wanita adalah meyakini bahwa ini adalah kebaikan.
***
III
PERTEMUAN
KITA
Cerita kita lahir
dari pertemuan yang sangat sakral dalam seting formal yang serba kaku. Aku
yakin bahwa pertemuan kita itu adalah garis Tuhan yang tak bisa dibantah. Aku,
laki-laki yang sering kau puji dan juga caci, tanpa nurani mendekat padamu. Dominasi
kuasaku aku sajikan untuk meluluhkanmu, ini bukti bahwa aku terbentuk dengan
logika perang sebab apapun aku jadikan senjata untuk menyerang. Gilanya kau tak
ampun malah melawan dengan tipu muslihat untuk menghancurkanku. Tipu yang
sering digunakan tokoh-tokoh wanita dalam kisah pewayangan. Kamu sangat berani
pikirku. Amarahku muncul dalam tubian yang bertalu-talu. Luka semakin menganga
dalam hati membuatku seperti Singa yang maha Singa. Kudapati kau berdua setelah
tipuan itu aku robohkan. Aku tak berhenti. Peperangan belum usai kataku
bersumpah. Suatu saat kamu akan bertekuk lutut di hadapanku dan merasakan
sakitnya ini. Tibalah saatnya, cita-citamu yang kamu sumpahkan harus terwujud
itu berbentur dengan kuasaku. Kamu mulai merasakan siksaan halus sebagai
akibatnya. Kamu premisif, tak ada daya untuk melawan. Perlindungan dari
siapapun tak kau dapatkan. Bahkan lelaki yang konon telah mendampingimu dalam
hitungan bertahun itu, tak kamu perhitungkan sebagai pelindung serangan kejamku.
Kamu berbaik saat itu. Aku tahu itu upayamu untuk meenghentikan seranganku, dan
lagi-lagi demi cita-cita yang tertunda. Akhirnya kamu semakin ada dalam
dekapanku. Dan kamu berpayah-payah untuk membenci laki-laki yang ternyata sama
jahatnya dengan aku, demikian katamu. Di tengah sakitmu, dia adalah lelaki yang
menguras keringat payah yang kamu teteskan. Tapi kamu tetap cinta, sekalipun
setelah berbagai penghianatan cintanya kamu bongkar. Pikirku dia tidak lebih
baik dari aku. Baru saja Aku menghunus senjata dia mundur menjauh, menerima
kenyataan bahwa kamu adalah aku. Kamu sakit waktu itu, bathinmu menjerit. Aku
obati dengan tipuan kesendirian yang diakukan. Akhirnya kamu sadar. Kamu
terluka. Kecewa. Dan maafkan aku. Tapi aku tak mundur, aku pikirkan solusi. Aku
dalam posisi sulit katamu. Dan kamu hidup dalam kebimbingan yang maha dahsyat.
Tak ada pelabuhan yang dapat mententramkan nasibmu. Tiba saatnya, kita
berpisah. Dan lagi kamu kembali padanya dengan sejuta noda yang aku panjatkan di
setiap malam jahanam kebersamaan kita. Mudah-mudahan dia menerimanya, ikhlas. Tak
ku tanya alibi juga motif yang kamu pilih itu. Kesimpulanku sederhana karena
kau cinta (mati) tidak yang lain. Hanya itu.
***
IV
KISAH
NANTI
Di hadapanmu aku ucap kata selesai. Tapi itu
ternyata sementara. Ketika aku sadar bahwa kamu tiada, aku berduka. Sangat.
Terkenang segala kisah ketulusan dan pengabdianmu untukku, walau tak ada cinta
di dada. Aku juga yakin di tengah kebencianmu padaku terselip kerinduan dan
kenangan tentang kehangatan kisah kita karena kamu tahu, akulah hidupmu. Katamu
aku gila, tapi ingat dengan kegilaanku aku bisa mengambilkan cita-citamu yang
tersimpan dalam selembar kertas bernilai. Kamu tahu bagaimana kisah gila itu
terjadi, sesuatu yang tidak mungkin dikerjakan oleh Jin yang biasa bekerja
dalam satu malam sekalipun. Kini, kerja belum selesai belum apa-apa. Aku belum
menerima, tak bisa sepertinya. Aku masih menggelora, sekalipun pagar yang dibuat
kawan-kawan untukku begitu tangguh mengungkungku, akan aku terjang. Pasti. Aku
masih berpikir tentang tenaga. Berusaha untuk membunuh amarah, hanya untuk kamu
dan kebahagianmu. Mudah-mudahan aku bisa, dan terbiasa menjalani hidup ini
tanpa rintahan manja darimu. Doakan aku. Love u more than I can say.
Melalui si popon yang menjadi harta
rampasan perang.
Sebuah kisah yang diceritakan secara imajiner.
Sebuah kisah yang diceritakan secara imajiner.
No comments:
Post a Comment