Oct 3, 2012

Antara Aku, Kamu, dan Drupadi


I
KAMU
Kecantikanmu sama dengan Drupadi yang terkenal kemana-mana, pun demikian dengan hasrat untuk bercabang, mirip dengan perilaku anak Prabu Drupada yang berpoligami dengan Lima (wayang) Pandawa. Tapi kamu memang bukan Drupadi yang dijadikan hadiah sayembara oleh ayahnya. Kamu, menurutmu, adalah wanita yang merasakan ketiadaan dalam hadirnya orang tua (absent in presentia). Cerita panjang telah kamu kisahkan padaku, di saat malam-malam panjang kebersamaan kita.
Mahabrata, Pendidikan Karakter
Drupadi
Kamu adalah wanita baik (dan memang demikian adanya) yang, katamu, dilahirkan dalam seting dan pasangan yang kurang tepat –hanya untuk mengatakan TIDAK TEPAT. Ibu yang melahirkanmu ke dunia ini sosoknya tak semanis kodrat yang Tuhan tetapkan sebagai fitrah seorang ibu, yaitu sosok penyayang, pengasih, dan pemurah. Pun demikian halnya dengan seorang ayah, bagimu, garis Tuhan yang menegaskan seorang ayah adalah sosok penjaga, pelindung, dan pengayom tidak tergores dalam kamus hidupmu. Kamu hampa ketika bertanya padaku ”Gendut apakah dekapan Ibu itu hangat?” “Apakah belaian Ayah itu damai?” Pertanyaan itu lancar mengalir dari seorang manusia yang tak pernah merasakan dekapan dan belaian Ibu dan Bapak. Padahal, semua orang pasti berlabuh di pelukan seorang Ibu ketika sudah merasakan letih yang amat sangat, begitupun dengan damainya lindungan Ayah, semua orang merasakannya secara nyata sebelum memanggil nama Tuhan, yang kerap kita lupakan, untuk melindungi diri dari serangan masalah hidup yang sangat bebal ini. Bagimu belaian kasih orang lain yang pada akhirnya dirasakan sebagai penyejuk yang mengiringi perjalanan hidupmu. Akibatnya, kamu tumbuh dengan konsep pikiran balas budi, balas jasa, tapi tidak dengan pikiran balas dendam pada mereka. Kamu membalas sakit hati untu mereka dengan hormat dan kasih sayang. Aku adalah saksi keenggananmu yang tidak mau melumat dendam untuk orangtuamu itu. Padahal kesempatan itu datang padamu, apalagi setelah aku bertenger dalam hidupmu. Kamu memang mulia, Sayang! Sementara itulah Kamu dalam ingatanku yang ringkas.
***
II
AKU

Sementara Aku adalah laki-laki yang dibesarkan di jalan dengan logika perang. Kehidupan, bagiku, adalah rincian episode peperangan yang harus dihadapi. Dalam perspektif perang, setiap orang ditakdirkan untuk melawan dan mencuri kemenangan, apapun caranya. Dalam kondisi apapun, terkadang, peperangan tak bisa dihindarkan. Karenanya Aku dipaksa untuk selalu siap dan waspada. Itu harus sayang, harus, demi eksistensi dan harga sebuah kehidupan. Melawan adalah semangat yang harus dikembangkan dalam jiwaku sebab jika aku duduk diam seperti yang kamu pilih itu sama dengan ketertindasan. Aku tak mau itu, sangat tidak mau. Apalagi mundur, aku tidak mungkin memilihnya, bagiku, mundur adalah pengkhianatan terhadap cinta kasih orang tua yang berpayah-payah melahirkanku dan menitipkan segaris doa harapan di dalam namaku. Pikirku aku harus menjadi kebangaan! Dan, aku terbentuk dengan bakat perang yang penuh dengan intrik. Tiba saatnya ketika Tuhan dengan jari-jari manis-Nya yang halus itu memapahku masuk ke gerbang kampus. Di tempat itu, aku pun ternyata tetap harus berperang. Perang melawan rasa lapar, perang melawan ketidakpunyaan, juga perang melawan ketidaktahuan. Semangat melawan mucul. Aku berstrategi untuk keluar menjadi pemenang. Dan lagi, kasih sayang Tuhan  itu agung. Tuhan mengabulkan doa-doa Ibuku yang mengiringi peperanganku di kampus. Setiap malam, namauku disebut dalam doanya di atas sajadah yang basah karena air mata ibanya ada Tuhan (robigfirli wali-wali daya warhamhuma kamma robbayani sugiroh—semoga dia yang ada di sana menddapat ampunanMu, Tuhan). Dengan doa itu, aku menang dari rasa lapar karena buktinya aku tidak mati kelaparan. Aku menang juga melawan ketidakpunyaan karena buktinya aku tidak pernah merasa rendah diri sebagai si miskin. Dan, ini yang penting, Aku keluar jadi pemenang melawan ketidaktahuan. Bersyukur, kata orang aku tampil menjadi orang yang berpengetahuan –walaupun tidak seistimewa pengetahuan Austin dan Searle, dua ilmuwan yang selau aku idolakan. Kisah ketika aku harus hidup berdua banyak dipicu keajaiban, dan kamu juga pada akhirnya tahu dan bahkan sepakat untuk mengatakan bahwa aku didampingi oleh malaikat mulia yang menjelma dalam sosok seorang istrti. Dalam insyafku, Tuhan sangat sayang padaku, sangat! Pilihan rasional saat itu untuk mau padanya di tengah lukaku pada seorang wanita adalah meyakini bahwa ini adalah kebaikan.

***
III
PERTEMUAN KITA

Cerita kita lahir dari pertemuan yang sangat sakral dalam seting formal yang serba kaku. Aku yakin bahwa pertemuan kita itu adalah garis Tuhan yang tak bisa dibantah. Aku, laki-laki yang sering kau puji dan juga caci, tanpa nurani mendekat padamu. Dominasi kuasaku aku sajikan untuk meluluhkanmu, ini bukti bahwa aku terbentuk dengan logika perang sebab apapun aku jadikan senjata untuk menyerang. Gilanya kau tak ampun malah melawan dengan tipu muslihat untuk menghancurkanku. Tipu yang sering digunakan tokoh-tokoh wanita dalam kisah pewayangan. Kamu sangat berani pikirku. Amarahku muncul dalam tubian yang bertalu-talu. Luka semakin menganga dalam hati membuatku seperti Singa yang maha Singa. Kudapati kau berdua setelah tipuan itu aku robohkan. Aku tak berhenti. Peperangan belum usai kataku bersumpah. Suatu saat kamu akan bertekuk lutut di hadapanku dan merasakan sakitnya ini. Tibalah saatnya, cita-citamu yang kamu sumpahkan harus terwujud itu berbentur dengan kuasaku. Kamu mulai merasakan siksaan halus sebagai akibatnya. Kamu premisif, tak ada daya untuk melawan. Perlindungan dari siapapun tak kau dapatkan. Bahkan lelaki yang konon telah mendampingimu dalam hitungan bertahun itu, tak kamu perhitungkan sebagai pelindung serangan kejamku. Kamu berbaik saat itu. Aku tahu itu upayamu untuk meenghentikan seranganku, dan lagi-lagi demi cita-cita yang tertunda. Akhirnya kamu semakin ada dalam dekapanku. Dan kamu berpayah-payah untuk membenci laki-laki yang ternyata sama jahatnya dengan aku, demikian katamu. Di tengah sakitmu, dia adalah lelaki yang menguras keringat payah yang kamu teteskan. Tapi kamu tetap cinta, sekalipun setelah berbagai penghianatan cintanya kamu bongkar. Pikirku dia tidak lebih baik dari aku. Baru saja Aku menghunus senjata dia mundur menjauh, menerima kenyataan bahwa kamu adalah aku. Kamu sakit waktu itu, bathinmu menjerit. Aku obati dengan tipuan kesendirian yang diakukan. Akhirnya kamu sadar. Kamu terluka. Kecewa. Dan maafkan aku. Tapi aku tak mundur, aku pikirkan solusi. Aku dalam posisi sulit katamu. Dan kamu hidup dalam kebimbingan yang maha dahsyat. Tak ada pelabuhan yang dapat mententramkan nasibmu. Tiba saatnya, kita berpisah. Dan lagi kamu kembali padanya dengan sejuta noda yang aku panjatkan di setiap malam jahanam kebersamaan kita. Mudah-mudahan dia menerimanya, ikhlas. Tak ku tanya alibi juga motif yang kamu pilih itu. Kesimpulanku sederhana karena kau cinta (mati) tidak yang lain. Hanya itu.
***
IV
KISAH NANTI

Di hadapanmu aku ucap kata selesai. Tapi itu ternyata sementara. Ketika aku sadar bahwa kamu tiada, aku berduka. Sangat. Terkenang segala kisah ketulusan dan pengabdianmu untukku, walau tak ada cinta di dada. Aku juga yakin di tengah kebencianmu padaku terselip kerinduan dan kenangan tentang kehangatan kisah kita karena kamu tahu, akulah hidupmu. Katamu aku gila, tapi ingat dengan kegilaanku aku bisa mengambilkan cita-citamu yang tersimpan dalam selembar kertas bernilai. Kamu tahu bagaimana kisah gila itu terjadi, sesuatu yang tidak mungkin dikerjakan oleh Jin yang biasa bekerja dalam satu malam sekalipun. Kini, kerja belum selesai belum apa-apa. Aku belum menerima, tak bisa sepertinya. Aku masih menggelora, sekalipun pagar yang dibuat kawan-kawan untukku begitu tangguh mengungkungku, akan aku terjang. Pasti. Aku masih berpikir tentang tenaga. Berusaha untuk membunuh amarah, hanya untuk kamu dan kebahagianmu. Mudah-mudahan aku bisa, dan terbiasa menjalani hidup ini tanpa rintahan manja darimu. Doakan aku. Love u more than I can say.

Melalui si popon yang menjadi harta rampasan perang.
Sebuah kisah yang diceritakan secara imajiner. 






No comments:

Post a Comment