Dec 30, 2016

Pendidikan untuk Menangkal Proxy War

Bentuk sebuah ancaman bagi negara kini berbeda. Jika dulu ancaman adalah berupa ajakan baku hantam senjata, sekarang musuh bisa saja melucuti apa yang kita punya tanpa kita merasa menderita. Di era yang semakin modern ini, ancaman dapat menyelundup dan menghancurkan negara dalam keheningan hingga yang terakhir kita sadari negara kita sudah porak-poranda dari segi ekonomi, pendidikan, dan mental sumber dayanya. Lantas apa yang dapat kita lakukan untuk melindungi Indonesia?

Komandan Sesko TNI Letjen Agus Sutomo, S. E. bertandang ke ITB untuk mengisi kuliah umum Studium Generale pada Rabu (23/03/16). Dipandu Sekretaris Bidang Karakter, Dr. Umar Khayam, Komandan Sesko membahas bentuk ancaman yang dinamakan proxy war serta peran mahasiswa dalam mengatasinya dan mengantarkan Indonesia menuju Indonesia Emas. Indonesia Emas adalah masa kejayaan Indonesia yang dicanangkan untuk terjadi pada 17 Agustus 2045, yaitu bertepatan dengan 100 tahun dirgahayu Indonesia. Generasi mahasiswa saat inilah yang akan menjadi pelaku utama Indonesia Emas kelak.

Menilik keadaan saat ini, penduduk dunia yang semakin pesat pertumbuhannya merupakan suatu masalah. Supply kebutuhan yang mengecil dengan demand yang terus bertambah akan menyebabkan sumber kebutuhan pokok menjadi rebutan. Hasil penelitian BP tahun 2011 menyebutkan bahwa cadangan minyak hanya akan bertahan 45 tahun lagi. Namun, melihat perkembangan dunia saat ini, penelitian BP tahun 2014 melansir konsumsi minyak akan meningkat 41% di tahun 2035. Maka, diprediksi sebelum menginjak Indonesia Emas, cadangan minyak dunia sudah kandas tepatnya di tahun 2043. Proyeksi ini bukan mutlak, bahkan bisa saja bergeser maju.

Selain itu, potret masalah akibat menipisnya persediaan kebutuhan kini sudah terlihat di mana-mana. Misalnya tumpahnya perang-perang di Mesir, Libya, Irak, Iran, Kuwait, Suriah, Sudan, Kongo, Yaman, Nigeria, dan Ukraina (migasreview.com, Agustus 2015). Kenyataannya, energi tidak dapat diperbaharui, namun dapat digantikan. Ini yang dapat menjadi keuntungan Indonesia sebagai negara yang berada di garis ekuator. Sumber energi terbarukan dapat kita temukan dengan mudahnya di negara kita. Namun keadaan ini juga bisa membawa petaka, diperkirakan di tahun 2043, penduduk orang yang tinggal di luar ekuator akan menyerbu negra-negara dengan matahari sepanjang tahun untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ini akan menjadi pemantik perang energi yaitu pertempuran merebutkaan pangan, air, dan sumber kehidupan lainnya. Palagan pertempuran akan bergeser dari negara penghasil minyak ke negara subur.

Indonesia sendiri merupakan negara kepulauan terbesar di ekuator - memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Soekarno pernah berkata bahwa kekayaan alam Indonesia suatu saat dapat membuat iri negara-negara dunia. Ini juga didukung dengan pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa kekayaan kita justru bisa menjadi petaka buat kita. Komandan Sesko turut menambahkan:  "Ya, jika kita masih meributkan ego sektoral," ujarnya.

Dalam bagian selanjutnya, terdapat bahasan mengenai tantangan terselubung yang harus dihadapi masyarakat Indonesia dalam menuju masa emasnya. Keadaan tersebut harus dicegah dengan pemahaman preventif oleh masyarakat agar tidak terjadi keadaan yang tidak diinginkan. Tantangan tersebut diantaranya: (1) membeli dan menguasai media massa untuk melakukan pembentukkan opini, rekayasa sosial, dan kegaduhan masyarakat; (2) mengadu domba TNI dan Polri lewat berbagai cara sehingga terjadi kekacauan dan gangguan stabilitas sosial; (3) mendapatkan pemimpin Indonesia sedini mungkin sehingga memihak dan dapat dikendalikan asing; (4) investasi besar-besaran ke Indonesia; (5) mengekploitasi sumber alam dan menjadikan Indonesia sebagai pasar untuk menjual produk asing; dan (6) menghancurkan generasi muda Indonesia melalui berbagai budaya negatif seperti perilaku konsumtif, judi, narkoba, dan LGBT. Hal-hal inilah yang dimaksud sebagai proxy war atau perang yang masuk ke sendi-sendi kehidupan yang beragam. Proxy war dilakukan oleh non-state actor, tapi dikendalikan oleh state. Indikasinya ditunjukkan dengan gerakan separatis, demo anarkis, sistem regulasi dan perdagangan yang merugikan, peredaran narkoba, dan masih banyak lagi. Menurut Komandan Sesko, inilah gambaran "invisible hands" yang mendesain berbagai bentuk opini kebencian agar menjadi candu bagi kita dan membuat kita ketagihan bertengkar. Sudah menjadi barang pasti bagi kaum intelek seperti mahasiswa untuk hadir di tengah-tengah masyarakat dan senantiasa membangun suasana yang guyub serta konstruktif demi keutuhan bangsa.

"Dari segi geografis, kita memiliki keunggulan berupa daratan dan lautan yang luas. Dari segi demografis kita punya kearifan lokal. Kita juga punya Pancasila," ungkap Komandan Sesko. Menurutnya, jika kita dapat konsisten dan sungguh-sungguh, sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan kita genggam kebali. Tonggak sejarah sudah diperjuangkan dari 1808 hingga proklamasi kemerdekaan oleh para pendahulu, sekarang giliran kita memperjuangkan tonggak sejarah untuk mencapai Indonesia Emas 2045.

Pemberantsan Terorisme

WACANA  penambahan kewenangan TNI dalam konteks penanggulangan terorisme kembali mewarnai proses pembahasan RUU Antiteror. Keberhasilan Satgas Gabungan TNI-Polri dalam Operasi Tinombala yang sukses menembak mati Santoso, seolah melahirkan daya paksa yang mendorong sebagian kalangan di DPR untuk mengakomodasi pasal penambahan kewenangan TNI di dalam RUU Antiteror yang pada tahun ini masuk ke dalam agenda Prolegnas. Hal ini sangat menarik untuk dikaji. Sebab, penambahan kewenangan TNI dalam konteks pemberantasan terorisme, sebenarnya, bukan perkara boleh atau tidak boleh dan juga layak atau tidak layak. Penambahan kewenangan TNI dalam pemberantasan terorisme adalah perkara keputusan politik. Artinya, apakah Pemerintah mau atau tidak menambah kewenangan TNI dalam memberantas terorisme di Indonesia.

Keputusan politik

Keputusan politik pemerintah terkait pemberantasan terorisme tecermin dalalam beberapa ketentuan perundang-undangan. Setidaknya, ada beberapa garis besar yang harus dipahami terkait dengan hal ini. Pertama, istilah “terorisme” di dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dinyatakan sebagai sebuah tindak pidana luar biasa (extraordinary crime). Hal tersebut berarti bahwa penanganan aksi terorisme harus dilakukan dalam kerangka hukum (projustitia), bukan melalui pendekatan militer. Sekalipun beberapa pendapat menyebutkan bahwa gerakan terorisme di Indonesia memiliki ciri seperti militer, terutama dalam hal penggunaan munisinya, amanat Undang-undang yang menempatkan penanggulangan aksi terorisme dalam sistem peradilan pidana harus dihormati.

Kedua, posisi TNI dalam konteks penanggulangan terorisme adalah sebagai pendukung (back up) Polri. Itu pun hanya dapat dilakukan atas permintaan Polri dan persetujuan Presiden. Kenyataan seperti ini tidak berarti bahwa Polri memiliki kemampuan teknis yang lebih baik dibandingkan TNI. Justru, dalam beberapa hal tidak bisa dibantah, kekuatan dan kemampuan TNI jauh lebih baik. Kemampuan pasukan antiteror TNI yang ada di setiap matra, kualitasnya tak perlu diragukan. Hal ini mungkin cukup dilematis karena kemampuan dan kekuatan yang dimiliki TNI, seolah dikesampingkan. Namun, apa boleh buat, kondisi ini adalah keputusan politik yang harus dihormati. 

RUU Antiterorisme

Sejak diundangkan, UU No. 15/2003 telah digunakan lebih dari 12 tahun sebagai kerangka normatif penanggulangan terorisme di Indonesia. Selama itu pula kinerja pemerintah dalam penanggulangan terorisme menyisakan banyak masalah. Ada banyak indikator yang dapat dirujuk untuk menunjukkan lemahnya kinerja pemerintah dalam menanggulangi aksi terorisme. Selain tingginya angka Global Terrorism Index yang mencapai 4,76 pada 2015 (urutan ke-33 dari 124 negara yang memiliki ancaman teroris paling besar), kompetensi Polri sebagai aparat penindak aksi terorisme di Indonesia merupakan faktor esensial yang patut diperhatikan.

Pemerintah sampai pada kesimpulan bahwa lemahnya kinerja penanggulangan terorisme di Indonesia, ditenggarai karena UU No.15/2003 yang digunakan sebagai payung hukum pemberantasan terorisme memiliki banyak kekurangan. Atas dasar itu, revisi UU No.15/2003 dalam Prolegnas 2016 merupakan upaya memperbaiki kinerja penanggulangan terorisme secara keseluruhan. Dalam draf RUU Antiteror yang telah diajukan, pemerintah tidak mengajukan pasal penambahan wewenang TNI (dan BIN) dalam pelibatannya sebagai aparat yang menangani terorisme. Hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa pemerintah, setidaknya sampai saat ini, belum memiliki kemauan politik untuk menambah kewenangan TNI dalam pemberantasan terorisme.

Hal lain yang justru perlu mendapat perhatian terkait RUU Antiteror adalah adanya perubahan/penambahan pasal yang berpotensi melahirkan aksi teror negara kepada rakyat. Pertama, soal perluasan definsi terorisme dan kekerasan yang batasannya mengambang. Dalam RUU Antiteror, ancaman dan perbuatan yang merugikan negara dikatakan sebagai bentuk terorisme dan kekerasan. Definisi tersebut batasannya sangat tidak jelas. Di tataran praktis, hal ini berpotensi menjadi alat kekuasaan yang dapat digunakan pemerintah untuk membungkam rakyat yang kritis terhadap pemerintahan.

Kedua, perluasan kewenangan aparat kepolisian yang sangat berlebihan. Draf RUU Antiteror memuat pasal terkait kewenangan polisi untuk melakukan upaya paksa kepada orang yang baru diduga terlibat dalam jaringan terorisme. Indikator keterlibatan seseorang dalam jaringan terorisme pun “hanya” diidentifikasi dengan ukuran jika seseorang melakukan pertemuan dan atau berkumpul membahas aksi teror dan aksi radikalisme. Selain itu, dengan minimal berbekal dua alat bukti, polisi bisa menahan terduga aksi teror. Jika sebelumnya alat bukti harus berupa aksi atau ancaman, maka dalam draf RUU Antiteror, bukti komunikasi via surat elektronik dan alat elektronik lainnya, bisa dijadikan sebagai alat bukti. Hasil analisis terhadap transaksi keuangan pun bisa menjadi alat bukti yang digunakan untuk menjerat terduga pelaku terorisme. Hal ini jelas-jelas ketentuan yang sangat mengerikan bagi siapa pun yang hidup di alam demokrasi.

Upaya negara untuk merevisi UU No.15/2003 perlu didukung agar instrumen yuridis terkait pemberantasan terorisme dapat berkontribusi terhadap pemberantasan teroris secara efektif. Patut juga untuk diingatkan bahwa dalam konteks ini negara mesti memperhatikan hak-hak kemanusian dan supremasi sipil sebagai nilai inti dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Dalam memberantas terorisme, negara jangan sampai terjebak membuat aturan yang justru mendukung lahirnya aksi teror yang dilakukan atas nama negara. Intinya, negara tidak boleh kalah apalagi hilang harapan untuk memberantas aksi terorisme di Indonesia dalam koridor yang sesuai dengan semangat demokrasi dan nilai-nilai kemanisaan.

8 Alasan di Balik Perlunya Moratorium UN

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Muhadjir Effendy, memiliki delapan alasan untuk menghentikan sementara (moratorium) Ujian Nasional (UN) pada 2017. Muhadjir menyampaikan itu dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis 1 Desember 2016.

Kedelapan alasan yang dikemukakan Muhadjir adalah:

    Moratorium UN juga sesuai dengan visi Nawa Cita dari Presiden Joko Widodo, tepatnya program prioritas nomor delapan. Jokowi menginstruksikan untuk melakukan evaluasi model penyeragaman dalam sistem pendidikan seperti UN.
    Moratorium UN sesuai dengan putusan Mahkamah Agung nomor 2596/2009 yang inti putusannya pemerintah wajib membangun sarana dan prasarana pendidikan secara merata dan menjamin kualitas guru.
    Rencana wajib belajar 12 tahun. Upaya pemenuhan seluruh siswa dapat melanjutkan dari jenjang SD ke SMP dan SMP ke SMA serta menghindari siswa putus sekolah (drop out).
    Hasil UN tak mampu meningkatkan mutu pendidikan dan kurang mendorong kemampuan siswa secara utuh.
    Cakupan UN juga terlalu luas sehingga sulit diselenggarakan dengan kredibel dan bebas dari kecurangan.
    UN juga sudah tak berimplikasi langsung pada siswa karena tak lagi dikaitkan dengan kelulusan. Pemerintah meyakini, berdasarkan hasil kajian, UN cenderung membawa proses belajar ke orientasi yang salah. "UN juga harus melibatkan sumber daya manusia dan biaya yang sangat besar," kata Muhadjir.
    UN cenderung membawa proses belajar pada orienrtasi belajar yang salah, karena sifat UN hanya menguji ranah kognitif, beberapa mata pelajaran tertentu. Sebagai proses evaluasi yang bersifat massal, sampai saat ini bentuk instrumen UN adalah pilihan ganda. UN telah menjauhkan diri dari pembelajaran yangmendorong siswa berpikir kritis, analitis, dam praktik-praktik penulisan essai sebagai latihan mengekspresikan pikiran dan gagasan anak didik.
    Jika digunakan sebagai alat pemetaan mutu, maka UN bukanlah alat pemetaan yang tepat. Pemetaan mutu yang baik menuntut instrumen yang berbeda dengan instrumen UN. Pemetaan mutu tidak perlu dilakukan setiap tahun dan tidak perlu diberlakukan untuk seluruh siswa. UN pada hakikatnya harus terkait dengan kelulusan dan meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi.***

Jun 26, 2015

Persoalan Pendidikan Indonesia

Masalah-Pendidikan-Indonesia-Infrastruktur-Kebijakan-Anggaran
Salah satu masalah dalam pendidikan Indonesia: Akses!
Persoalan pendidikan yang dialami bangsa ini tidak bisa dilihat secara sporadis, melainkan harus dilihat dalam perspektif utuh mindset pendidikan mulai dari aspek filosofis, keilmuan pendidikan sebagai landasan kerja, dan praksis pendidikan. Pendidikan bukanlah proses “investasi” sesaat dan instan, melainkan sebuah proses jangka panjang dan hasilnya dalam bentuk perilaku yang muncul pada saat ini merupakan produk dari proses. Persoalan proses dalam pendidikan adalah hal yang penting karena esensi pendidikan adalah proses. Proses membawa manusia dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana seharusnya.
Apakah praktik (penyelenggaraan) pendidikan selama ini sudah berlandaskan kepada mindset utuh ilmu pendidikan dan konsisten dengan makna yang terkandung di dalam jiwa amanat undang-undang? Fenomena yang tampak menunjukkan adanya kesenjangan antara mindset utuh pendidikan yang terkandung dalam UU No. 20/2003 dengan mindset pendidikan dalam praktik penyelenggaraan pendidikan, yang menumbuhkan kultur pendidikan tidak sehat. Jika pendidikan bertanggung jawab untuk membangun martabat bangsa yang diwujudkan dalam ketahanan hidup bangsa, perlu upaya penyehatan kultur pendidikan.
Diperlukan reformasi pemikiran, kebijakan, dan penyelenggaraan pendidikan, yang tidak semata-mata didasarkan atas pemahaman UU secara tekstual, melainkan secara kontekstual dan dilandasi dengan pemaknaan filosofis-pedagogis yang berbasis nilai kultural dan agama. Kunci utama penyehatan pendidikan terletak pada reformasi mindset atau tata pikir secara utuh dalam memaknai hakikat dan praktik penyelenggaraan pendidikan, dan menempatkan ilmu pendidikan sebagai framework dan landasan kerja bagi penyelenggaraan pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan peserta didik melalui penciptaan suasana dan proses pembelajaran yang mendidik.
Mindset
Terdapat sejumlah kaidah mendasar yang terkandung dalam UU No. 20/2003 yang perlu ditelaah dalam rangka memahami makna pendidikan dan membangun mindset utuh pendidikan sebagai landasan kerja bagi penyelenggaraan pendidikan nasional, untuk mengembangkan manusia Indonesia bermartabat. Pengertian pendidikan yang dinyatakan dalam Pasal 1 (1) mengandung perubahan paradigm jika dibandingkan dengan rumusan pendidikan yang terkandung dalam UU No. 2/1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU No. 20/2003 terjadi sebuah reformasi pemikiran tentang pendidikan berupa penegasan bahwa pendidikan menekankan kepada mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran dan keterlibatan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Paradigma ini menggambarkan bahwa proses pendidikan adalah proses transaksional untuk mengembangkan ragam potensi peserta didik, pengakuan atas keragaman peserta didik. Oleh karena itu, pendidik harus berinteraksi dengan keragaman yang disebutkan.
Ukuran keberhasilan pendidikan yang berhenti pada angka ujian adalah sebuah ketimpangan. Dengan demikian, pembelajaran akan menjadi proses menguasai keterampilan dan mengakumulasi pengetahuan. Paradigma ini menempatkan peserta didik sebagai pembelajar imitatif dan belajar dari berbagai ekspose didaktis belaka yang akan berhenti pada penguasaan  fakta, prinsip, dan aplikasinya. Paradigma ini tidak konsisten dengan esensi pendidikan yang digariskan dalam UU Sisdiknas dan bahkan mengingkari hakikat manusia itu sendiri.
Kaidah pendidikan nasional yang disebutkan semestinya membentuk blue print pendidikan nasional yang mengandung landasan filosofis dan landasan kultural yang menjamin pendidikan tidak tercerabut dari akar budaya bangsa Indonesia. Ini berarti, manusia Indonesia yang bermartabat adalah manusia Indonesia yang tidak tercerabut dari akar budayanya sebagai bangsa Indonesia.
Pendidikan berfungsi untuk membangun karakter, membangun watak, dan membangun kepribadian dan martabat bangsa. Perlu disadari, bahwa yang ditegaskan dalam hal ini adalah, kecerdasan kehidupan bangsa bukan kecerdasan orang per orang. Demikian pula dengan karakter bangsa, bukan karakter orang per orang, martabat bangsa bukan martabat orang per orang. Oleh karena itu, pendidikan harus membangun kecerdasan kultural (cultural intelligence).
Semua rumusan yang amat indah tetapi abstrak itu perlu dipadankan dengan praktik penyelenggaraan pendidikan. Pertanyaannya adalah, sudahkah praktik penyelenggaraan pendidikan menunjang terpenuhinya fungsi dan tercapainya tujuan yang dirumuskan dalam kaidah normatif yang disebutkan itu? Fungsi dan tujuan pendidikan yang digariskan merefleksikan tiga tataran tujuan pendidikan, sebagai Tujuan Utuh Pendidikan Nasional, yakni tujuan individual, tujuan kolektif, dan tujuan eksistensial.
Tujuan individual yaitu tujuan yang harus dicapai oleh setiap peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya. Tujuan kolektif adalah tujuan yang harus dicapai dalam wujud kecerdasan kehidupan bangsa, dan tujuan eksistensial adalah tujuan yang harus terwujud dalam karakter bangsa yang bermartabat yang memiliki daya saing dan ketahanan hidup yang kokoh.
Dalam perspektif pendidikan yang digambarkan, membangun manusia Indonesia yang bermartabat melalui upaya pendidikan adalah mewujudkan tujuan utuh pendidikan nasional, sehingga dengan demikian setiap kebijakan, regulasi, praktik penyelenggaraan, manajemen, dan evaluasi pendidikan harus secara konsisten beranjak dari mindset utuh pendidikan yang terarah kepada pencapaian tujuan utuh pendidikan nasional.

Jun 25, 2015

Etnopedagogik dan Internasionalisasi Pendidikan

Pada saat Sekolah Berstandar Internasional (SBI) sedang berkembang, karena Undang-undang beramanat demikian, guru, siswa maupun orang tua siswa terlihat seperti lebih bangga bila anaknya masuk sekolah di SBI. Alasan utamanya adalah karena peserta didik yang masuk SBI adalah peserta didik pilihan, proses pembelajaranya menggunakan bahasa internasional (baca: Bahasa Inggris), perlengkapan dan alat ajarnya lebih canggih dan unggul disbanding sekolah lain, begitu pula dengan gurunya yang merupakan guru pilihan. Namun demikian, kita jangan sampai lupa, internasionalisasi bukan berarti mendidik peserta didik dengan cara asing, dan meninggalkan adat dan budaya bangsa sendiri. Sebaliknya, dengan internasionalisasi harus bisa melerstarikan adat dan budaya sendiri, agar bisa berhubungan dan di kenal oleh bangsa lain. Bahkan berusaha supaya bangsa lain merasa tertarik dan ingin mempelajari adat dan budaya yang kita miliki. Oleh sebab itu, pendidikan tidak bisa lepas dari adat dan budaya bangsa. Upaya pendidikan  yang diri kepada budaya peserta didik disebut  etnopedagogik.

Dilihat dari asal katanya, etnopedagogik dibentuk oleh dua kata, yaitu etnik yang berarti suku bangsa atau bangsa; dan pedagogik berarti ilmu pendidikan atau ilmu mendidik. Bila diartikan secara keseluruhan, etnopedagogik ialah ilmu pendidikan yang berhubungan dengan satu suku bangsa atau bangsa. Hal tersebut mengandung arti bahwa pendidikan dan ilmu pendidikan tidak bisa lepas bahkan harus dibangun oleh falsafah kehidupan bangsa atau suku bangsa yang menjadi perserta didiknya. Lebih mendalam, etnopedagogik bisa diartikan ilmu pendidikan yang berdasar kepada budaya dan adat kebiasaan masyarakat yang harus dilestarikan, supaya maju dan berkembang, dan terwujud menjadi kehidupan yang unggul dan hidup berdampingan dengan bangsa lain di dunia. Etnopedagogik tidak berarti  hanya memajukan bidang-bidang unggul dalam kehidupan masarakat yang berdasarkan budayanya, tapi juga harus memajukan, mengembangkan dan memperbaiki malah mungkin mengubah tata perilaku atau tata pikir masyarakat agar bisa mendalami berbagai rumpun ilmu pengetahuan dan membangun kehidupan bersama dengan masarakat di luar dirinya sambil tetap melestarikan budayanya.
Mengapa bagian-bagian pendidikan dan penerapannya dalam proses pembelajaran harus mengakar kepada budaya masarakat yang dididik? Sebab, budaya merupakan satu sistem yang memiliki arti khusus bagi masyarakat yang menurunkan kebiasaanya kepada generasi seterusnya, untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup, meraih kebahagiaan, dan kesejahteraan kehidupan serta mewujudkan arti dari kehidupan itu sendiri. Dilihat dari arti budaya yang disebutkan, sangat jelas, bila perilaku, tata pikir, rasa, dan kesadaran manusia tidak akan bisa lepas dari budayanya. Bisa dipsatikan, bila pendidikan keluar dan lepas dari akar budaya masyarakat, maka perilaku, tata pikir, rasa, dan kesadaran yang harus dikembangkan oleh pendidikan tidak akan sejalan dengan kehidupan sehari-hari yang dijalani masyarakat.
Setiap masyarakat memiliki budaya yang berbeda. Untuk kepentingan pendidikan, guru atau pendidik harus mengerti secara mendalam akan perilaku, tata pikir, rasa, kesadaran dan keunikan manusia dalam raung lingkup budayanya. Belajar matematika, sains, bahasa, olah raga, tekhnologi, dan bidang ilmu lainnya tidak akan bisa lepas dari perilaku, tata pikir, rasa, dan kesadaran yang berkembang dalam ruang lingkup budaya. Pendidikan yang berdasarkan budaya tidak dimaksudkan bahwa masyarakat yang dididik hanya sekedar mempelajari dan melestarikan budayanya sendiri dan tidak menghargai budaya lain atau memisahkan diri dari budaya lain, atau jadi masayarakat ekslusif. Tapi sebaliknya, mendidik masyarakat untuk mendalami ilmu pengetahuan berdasarkan budayanya, menjungjung tinggi tata kehidupan dalam membangun kehidupan bersama, yang menjadi dasar untuk meraih kehidupan demokratis.
Melihat hal-hal yang dijelaskan, etnopedagogik memiliki beberapa patokan atau prinsip, yaitu:
1.             Berdasar kepada budaya masyarakat; oleh sebab itu pendidikan memiliki tanggung jawab untuk melestarikan, mengembangkan dan memelihara budaya dalam konteks perkembangan zaman.
2.             Berdasar kepada kebutuhan masing-masing; mengandung arti bahwa pendidikan memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan potensi (perorangan maupun kelompok) yang sesuai dengan kemampuan serta keadaan, dan mengubah perilaku yang tidak sesuai dengan budaya kehidupan.
3.             Berdasar kepada sikap tenggang rasa; artinya pendidikan mengemban tanggung jawab untuk membangun masyarakat inklusi, yaitu masyakarat yang bisa menghargai semua anggotanya baik yang kaya maupun yang miskin, yang memiliki jabatan maupun pekerja biasa, yang unggul maupun yang rendah, memiliki hak dan tanggung jawab untuk berperan dalam kehidupan.

Kembali lagi kepada persoalan awal mengenai internasionalisasi. Jika demikian halnyaapakah yang disebut internasionalisasi pendidikan itu disebabkan karena:
  1. Bahasa yang digunakan adalah bahasa asing?
  2. Siswanya datanag dari berbagai negara? 
  3. Pembelajarannya menggunakan tekhnologi  canggih?
  4. Meliputi berbagai macam budaya? atau
  5. Gurunya didatangkan dari negara lain?
Sepertinya, bila dilihat hubungannya dengan etnopedagogik, apa yang dipertanyakan di atas tidak bisa begitu saja dijadikan patokan atau ukuran sebuah sekolah disebut sebagai SBI. Yang menjadi sebab, yaitu jati diri selaku bangsa jangan sampai luntur oleh internasionalisasi. Tumbuh dan berkembangnya masyarakat bisa digambarkan ibarat spiral, dari keadaan yang berlandaskan budaya sendiri (etnosentrik) sampai kepada kehidupan dengan berbagai macam budaya (kosmopolit). Di antara kutub etnosentrik dan kosmopolit jati diri selaku pribadi atau bangsa diuji, apakah akan menjadi orang atau bangsa yang bisa menyesuaikan diri  dengan jaman dan bisa menaklukan kemajuan jaman, atau jadi orang yang tidak memiliki pegangan, hidup hanya sebatas menyesuaikan? Etnopedagogik menekankan bahwa kearifan lokal merupakan kekuatan untuk membangun jati diri masyarakat, sumber inspirasi untuk mengubah keadaan supaya masyakarat jadi lebih maju dan berkembang, memiliki sikap tenggang rasa, menghargai alam dan Sang Pencipta.
Oleh sebab itu pendidikan, dengan pendekatan etnopedagogik, untuk mewujudkan dan meraih internasionalisasi harus dilaksanakan dengan mengedepankan hal-hal berikut.
Memperkuat jati diri bangsa; pendidikan harus membangun karakter bangsa yang kuat
Memperhatikan budaya sendiri; yang unggul terus dipihara dan dikembangkan, sedangkan yang kurang diperbaiki, malah bila perlu diganti supaya menjadi sikap atau tata pikir yang lebih bagus sesuai dengan kehidupan jaman.
Meningkatkan kemampuan diri sendiri dengan cara belajar seumur hidup agar bisa berperan aktif di negara atau bangsa sendiri, atau dengan bangsa lain dengan kehidupan yang rukun.

Hal yang paling penting untuk guru ialah guru harus punya kemampuan untuk mendalami kehidupan budaya siswa dan masyarakat, memiliki ilmu pendidikan  yang disertai dengan budaya kehidupan masyarakat sendiri.









Pendidikan Inklusi, Pendidikan Abad 21

Investasi pendidikan adalah prediktor masa depan bangsa yang tercermin dalam mutu sumber daya manusia yang akan dihasilkan melalui upaya pendidikan itu. Modal dasar yang amat dahsyat di Indonesia adalah potensi jumlah penduduk produktif. Dalam kurun waktu 15-20  tahun mendatang diperkirakan lebih dari 60% penduduk Indonesia berada pada usia produktif (15-64 tahun). Potensi ini harus dikelola dengan tepat dan pendidikan adalah wahana paling strategis untuk mengelola potensi penduduk produktif dimaksud. 

Mereka yang akan menduduki posisi usia produktif pada 15-20 tahun yang akan datang adalah mereka yang pada saat ini berusia antara 0-40 tahun. Dari rentang usia itu dua kutub kritis yang harus menjadi perhatian adalah mereka yang berada pada kelompok usia dini (0-5 tahun) dan usia mahasiswa (18-23 tahun) yang saat ini sedang menempuh kuliah. Kelompok usia dini akan menjadi mahasiswa pada 15 tahun mendatang dan kelompok mahasiswa saat ini akan menjadi kelompok yang amat produktif pada tahun 2035.
Pendidikan Inklusi
Dalam konteks pemanfaatan anggaran pendidikan, dua kutub kritis ini perlu mendapat perhatian dan prioritas, tanpa mengabaikan kelompok usia yang berada di antara kedua kutub itu. Investasi dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dimaksudkan untuk memberikan kepastian bahwa tidak ada anak usia dini yang tidak memperoleh akses pendidikan. Anak usia dini tak boleh diabaikan. Sebab jika terabaikan, maka usia produktif pada 15-20 tahun mendatang yang akan menjadi penopang kekuatan ekonomi dan daya saing bangsa tidak akan bisa disiapkan dengan baik, dan perkembangan bangsa bisa terganggu.
Angka partisipasi kasar (APK) PAUD sebesar 56,7% pada awal tahun 2010 dan target 72,9% pada tahun 2014 memerlukan investasi besar dan gerakan nasional secara menyeluruh. Dengan kecenderungan pencapaian target seperti yang digambarkan, diharapkan pada tahun 2025 seluruh populasi anak usia dini memperoleh layanan pendidikan anak usia dini.  Invenstasi PAUD harus mencakup infrastruktur dan ketenagaan, yang pada saat ini masih jauh dari standar yang diharapkan. Untuk mencapai harapan anak usia dini masa kini menjadi manusia Indonesia produktif pada 15 tahun yang akan datang maka PAUD tidak boleh diabaikan dan harus memperoleh prioritas pembiayaan.
Untuk mempercepat peningkatan daya saing bangsa dan pertumbuhan ekonomi, prioritas anggaran pendidikan harus pula diberikan kepada pendidikan tinggi. Ada dua hal utama yang perlu mendapat prioritas penganggaran di perguruan tinggi. Pertama, peningkatan mutu, aksesibilitas, relevansi, dan kesetaraan gender pada program S1, termasuk juga politeknik. Kedua, penambahan jumlah doktor. Ini penting karena lulusan pendidikan tinggi adalah tenaga ahli dan profesional yang siap memasuki dunia kerja (usaha dan industri) ataupun membuka lapangan kerja baru. Kelompok ini akan menjadi critical mass dan menjadi kekuatan untuk akselerasi pertumbuhan dan perubahan ekonomi dan penguatan daya saing bangsa. 
Kekuatan ini diharapkan akan mampu mengurangi eksploitasi ekonomi perkotaan karena terjadinya penyebaran kemampuan ke seluruh pelosok tanah air yang secara potensial dapat menumbuhkan sentra-sentra ekonomi baru. Untuk itu, peningkatan APK pendidikan tinggi dari 24,67% pada tahun 2010 dan ditargetkan menjadi 30,0% pada tahun 2014, yang telah menjadi program dan target Kemdikbud, perlu didukung anggaran yang memadai dan berkelanjutan. Demikian pula penyediaan anggaran untuk membiayai mahasiswa yang secara ekonomi tidak beruntung namun memiliki potensi akademik tinggi, melalui program bidik misi bagi 20.000 mahasiswa per tahun perlu dijamin keberlanjutannya. Persoalan mutu, aksesibilitas dan keterjangkauan, relevansi, dan kesetaraan gender adalah variabel yang harus dipenuhi seiring dengan upaya peningkatan APK pendidikan tinggi.
Pendidikan abad 21 akan harus mendekatkan peserta didik ke dunia kerja. Pendidikan inklusi bertolak dari prinsip yang amat hakiki bahwa semua warga Negara berhak memperoleh pendidikan tanpa kecuali. Pendidikan inklusi mengabaikan pertimbangan kecakapan intelektual, ras, agama, latar belakang budaya dan faktor keragaman lainnya. Pemerolehan hak ini dijamin oleh Undang-undang, dan di Indonesia dijamin oleh  Pasal 31 (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa  “ Semua warga Negara berhak mendapat pendidikan”, termasuk di dalamnya anak-anak berkebutuhan khusus. Pasal 5 (2,3,4,) UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas menegaskan
(2)  Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
(3)    Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
(4)    Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.

Makna pendidikan khusus dan layanan khusus yang terkandung dalam bunyi pasal ayat yang disebutkan tidak serta merta mengartikan bahwa pendidikan bagi polulasi dimaksud terselenggara secara terpisah dengan warga Negara lainnya. Pembersamaan belajar antara warga Negara yang berkebutuhan khusus (ABK) dengan peserta didik lain yang secara intelektual normal adalah hal yang dimungkinkan, dan itulah prinsip dasar pendidikan inklusi.  Kendatipun demikian pendidikan inklusi bukanlah semata-mata mengintegrasikan pendidikan anak normal dengan anak yang mengalami kecacatan seperti tuna grahita, tuna daksa, tuna rungu dan wicara, tuna netra, dan jenis difable lainnya dalam satu sekolah atau kelas. Hal itu tidak keliru, namun makna pendidikan inklusi lebih dalam dari apa yang disebutkan.
Pendidikan inklusi menyangkut diversifikasi layanan berbasis keragaman individual peserta didik dalam konteks keragaman budayanya. Pendidikan inklusi adalah pendidikan dalam keragaman peserta didik (diverse learner) dan keragaman budaya (diverse culture) dan proses transaksi budaya yang terjadi di dalamnya. Kecenderungan kehidupan seperti itu terjadi dalam kehidupan  abad 21 saat ini,  kehidupan global dan trans budaya yang berimplikasi pada proses pendidikan dan belajar peserta didik. Sekolah akan dihadiri oleh peserta didik dengan ragam latar budaya, ras, etnik, dan agama, di samping keragaman kecakapan intelektual. Pendidikan dan layanan sekolah yang hanya mengutamakan pengembangan kecakapan intelektual dengan mengesampingkan pengembangan kecakapan dan aspek lain yang disebutkan mengandung arti menjauhkan peserta didik dari realitas kehidupan, jelasnya kehidupan abad 21 yang sedang dialami.

Pendidikan inklusi mendekatkan proses pendidikan dan perkembangan peserta didik ke dalam kehidupan nyata. Pendidikan inklusi adalah pendidikan kebhinekaan yang akan mampu menumbuhkan dikap demokratis, toleransi, saling pemahaman, empatik, sebagai nilai-nilai dan perilaku yang diperlukan di dalam membangun dan memperkokoh kebangsaan. Ada semangat besar secara kultural yang terkandung di dalam pendidikan inklusi. Oleh karena itu pendidikan inklusi seyogyana tidak dimaknai sebatas kebersamaan belajar aantara ABK dengan anak-anak normal lainnya melainkan keutuhan bangsa di dalam kebhinekaan. Dalam konteks kehidupan antar bangsa dan antar budaya, pendidikan inklusi adalah strategi tepat untuk   memenuhi kebutuhan  belajar pada abad 21. Belajar dalam seting inklusi adalah belajar berbasis potensi yang beragam (diverse potentialities). Dengan demikian proses pembelajaran inklusi (mestinya) tidak didasarkan pada label-label kelainan yang disandang peserta didik (tuna netra, tuna grahita dsb) melainkan didasarkan kepada kondisi objektif  potensi peserta didik yang harus diases dan difahami secara mendalam oleh guru. Implikasinya, guru harus faham akan gaya belajar setiap peserta didik sehingga dia mampu mendiagnosis dan mengembangkan strategi intervensi proses belajar peserta didik secara efektif.

Pendidikan Anak Berbakat

Pendidikan Anak, Pendidikan Anak Berbakat, Pendidikan Anak Berbakat di Indonesia,
Pendidikan Anak Berbakat

UU Sisdiknas sangat menghargai dan berakar pada martabat peserta didik dengan segala keunikannya. Keunikan-keunikan itu diakomodasi  dengan amanah penyelenggaraan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 UU No. 20/2003. Namun tentu saja penyelenggaraan diversifikasi layanan ini harus berdasar kepada prinsip-prinsip yang digariskan pada pasal 4, khususnya ayat 2, yang menegaskan bahwa “Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna”. Filosofi yang ada di balik regulasi ini mengandung implikasi bagi kurikulum yang terdiversifikasi yang berlangsung dalam keutuhan sistem, bukan layanan-layanan ekslusif.

Pendidikan anak berbakat atau unggul, yang dianggap sebagai pendidikan khusus, yang akhir-akhir ini menarik banyak sekolah untuk berlomba-lomba menawarkan program akselerasi tidak perlu dipandang sebagai  sebuah upaya luar biasa. Pendidikan di tingkat individual seperti itu harus dilihat dalam konteks pencapaian Tujuan Utuh Pendidikan Nasional. Pencapaian prestasi luar biasa seperti prestasi olimpiade fisika dan matematika, harus dilihat seperti halnya keberbakatan   di bidang bulutangkis, tinju, dan catur, yang memang memerlukan takaran latihan yang jauh di atas takaran yang diperlukan oleh peserta didik lain yang sama-sama sebagai warga negara biasa.
Pengembangan keberbakatan yang berorientasi membentuk perilaku “instant” yang menarik peserta didik dari habitat pembelajaran, karena anak dikarantina, akan menjadikan pendidikan lepas konteks dari Tujuan Utuh Pendidikan Nasional. Ada sebuah biaya peluang (opportunity cost) yang sangat mahal dalam program semacam ini, yang “harus dibayar” oleh sebahagian terbesar peserta didik yang tidak tersentuh program khusus pembinaan bakat dimaksud. Dan, jika program pendidikan anak berbakat itu demikian adanya maka program itu hanya akan merupakan kegiatan yang tidak berbeda dari kegiatan yang menyerupai kegemaran (hobby) saja. Tampaknya kita masih harus merenungi kembali filosofi dan esensi pendidikan yang ada di balik regulasi.
Kecerdasan dan keberbakatan istimewa tidak pernah mencakup semua bidang kemampuan, tapi hanya bidang-bidang tertentu, sehingga pengembangan di bidang lain tetap harus berjalan dalam kondisi normal seperti siswa lainnya. Dalam usia muda seperti sekolah dasar harus dihindari kondisi “Cartesian Split” yang menimbulkan ketidakseimbangan antara perkembangan fisik dengan intelektual.
Perlu diantisipasi “keterjebakan” pendidikan ke dalam diversifikasi ekslusif, seperti pendidikan anak berbakat karena mungkin orientasi target-target pengakuan, nasional maupun internasional, yang bisa mencerabut peserta didik dari akar budaya dan membentuk perilaku instant. Perlu dikembangkan kebijakan membangun dan menata kontinuitas dan interelasi program pendidikan antar jenjang dalam keutuhan sistem, termasuk  layanan pendidikan bagi anak berbakat, yang mengandung daya adaptabilitas dan fleksibilitas tinggi terhadap keragaman peserta didik. Anak SMP yang berbakat luar biasa dalam bidang Matematika misalnya, tidak perlu dipaksakan belajar Matematika di sekolahnya melainkan bisa belajar di jenjang yang lebih tinggi di bidang Matematika, tanpa terserabut dari habitat sekolahnya dan dia tetap sebagai siswa di sekolahnya. Ini adalah pendidikan khusus dalam keutuhan sistem.
Untuk itu diperlukan sistem manajemen pendidikan yang secara kuat mendorong akuntabilitas setiap satuan pendidikan  dalam persaingan yang terbuka dan jujur. Masyarakat luas perlu dibelajarkan agar memahami dengan benar masalah akuntabilitas dan kejujuran persaingan di dalam proses pendidikan.   Upaya ini mutlak dibarengi dengan pemerataan mutu pendidikan yang harus difahami dan dimplementasikan secara tepat oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.